Tentang Rokok

Kemarin, tanggal 31 Mei diperingati sebagai Hari Anti Tembakau Internasional. Media massa banyak meliput aksi, campaign, hingga demonstrasi mengenai rokok. Di UGM sendiri, teman-teman dari Fakultas Kedokteran, Kedokteran Gigi, Farmasi dan Peternakan menyelenggarakan aksi tukar rokok dengan susu untuk merayakan Hari Anti Tembakau Internasional dan Hari Susu Nusantara yang diperingati pada 1 Juni.

Rokok, sebuah barang kecil dengan pengaruh, baik itu positif atau negatif, yang besar. Di Indonesia, industri rokok berhasil memberikan lapangan pekerjaan bagi enam juta orang penduduknya. Cukai rokok juga menjadi salah satu pendapatan terbesar bagi pemerintah Indonesia, yaitu lebih dari 100 Triliun per tahun. Untuk pengaruh negatif, katanya sih setiap hari ada dua puluh enam orang yang meninggal akibat penyakit karena rokok. Sedangkan Kemenkes Indonesia mencatat jumlah kematian akibat rokok mencapai 236.000 dalam satu tahun. Meskipun hanya sebesar jari-jari tangan, rokok juga disinyalir mengandung berbagai macam zat kimia berbahaya mulai dari asam asetik, metanol, aseton, formalin, naptalin, formalin dan sebagainya.

Alasan-alasan negatif seperti di atas tersebut sering kita temukan dalam aksi peringatan Hari Anti Tembakau Internasional yang dilakukan oleh masyarakat, mahasiswa, komunitas, dan instansi-instansi peduli kesehatan. Telah banyak campaign-campaign kreatif lain yang menyuarakan pentingnya berhenti merokok, salah satu di antaranya adalah:

Dalam campaign lain yang pernah saya lihat malah mereka berani memberikan hitungan mengenai seberapa banyak uang yang dikeluarkan seorang pecandu untuk membeli rokok per hari, minggu, bulan hingga per tahunnya. Angka yang cukup fantastis itu kemudian menjadi bahan sindiran yang seolah-olah menyuarakan “beli rokok bisa kenapa nabung nggak bisa”, “beli rokok bisa kenapa bayar zakat nggak bisa”, “pantes miskin beli rokok terus”.

Menurut saya sendiri, mungkin rokok tak hanya sekedar menjadi candu bagi para penghisapnya. Untuk masyarakat kelas ekonomi bawah, rokok menjadi satu-satunya kemewahan yang dapat mereka nikmati. Di tengah kesulitan yang membelit mereka, satu batang rokok mungkin menjadi hiburan sederhana yang masih dapat mereka jangkau tiap harinya. Tak jarang saya mendapatkan mimik muka yang teduh dan rileks ketika melihat para pengayuh becak menghisap rokoknya setelah lelah bekerja. Katanya sih, smoking is escaping.

Seorang teman pernah menceritakan pengalamannya mengenai rokok. Tak seperti orang-orang lain yang mempunyai merek rokok favorit, teman saya itu menyesuaikan merek rokok yang ia hisap dengan acara, tempat, dan atau orang-orang yang akan ia temui. Baginya rokok dapat menjadi alat untuk memperlihatkan siapa diri yang ia ingin perlihatkan. Wow, bahkan rokok pun dapat mempengaruhi citra diri. Luar biasa memang.

Apapun alasannya, sebenarnya saya masih tidak bisa menolerir orang-orang yang sembarangan merokok di tempat umum. Tapi seiring bertambahnya usia, yang saya rasakan justru kemampuan untuk menolerir / tahan terhadap bau dan asap rokok menjadi penting. Ya begitulah, selamat Hari Anti Tembakau, mari sekali-kali hargai perokok pasif!

Leave a Reply