Sepak Terjang Sukoco Dalam Persepakbolaan Sleman

Nama Sukoco sudah tidak asing lagi dalam dunia persepakbolaan Yogyakarta, khususnya Sleman. Pria yang lahir tanggal 12 April 1969 tersebut mengaku telah gemar bermain sepak bola sejak kecil. Terakhir, Sukoco tercatat menduduki posisi sebagai General Manajer Persatuan Sepak bola Sleman (PSS). Sukoco sendiri juga lahir, tinggal dan besar di Sleman. Ibunya merupakan warga asli Semaki Umbulharjo sedangkan bapaknya berasal dari Nusa Tenggara Barat.

Kedekatan antara Sukoco dan sepak bola telah terajadi sejak kecil. Lokasi rumahnya di Beran Kidul berada tak jauh dari Lapangan Asparagus atau Stadion Tridadi yang merupakan markas PSS Sleman. Sukoco kemudian bergabung dengan klub sepak bola yang ada di kampungnya, “Pemain-pemain di kampung saya menjadi hebat sejak ikut klub-klub yang ada di Sleman,” ceritanya sembari duduk santai.

Selain menggemari olahraga sepak bola, pada waktu kecil Sukoco juga bercita-cita untuk menjadi seorang militer. “Dulu ingin jadi militer atau sekolah di SGO (Sekolah Guru Olahraga). Kalau setelah dari SGO ke militer prospeknya juga gampang. Kalau Bapak menyarankan saya mengembangkan sepak bola di luar daerah,” katanya. Kedua pilihan tersebut sempat membuatnya bingung. Namun pada akhirnya, Sukoco justru melanjutkan sekolah ke STM Pertanian Salam (sekarang SMK Negeri 1 Salam) selepas ia lulus SMP. Kegemarannya bermain bola ia lanjutkan dengan bergabung pada klub sepak bola.

Melalui hobi bermain sepak bola, Sukoco mendapatkan kesempatan untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di usia muda. “Sejak kelas tiga SMA saya sudah ditarik mengikuti PNS. Saya sudah punya SK walau sebetulnya tidak sah karena belum lulus,” Sukoco berujar sembari sedikit menyunggingkan senyum. Pada tahun 1980-an tersebut, banyak atlet berprestasi yang diangkat oleh pemerintah menjadi PNS untuk berpartisipasi dalam Pekan Kesegaran Jasmani Karyawan (PKJK). Hal itu bertujuan agar para atlet tidak pindah keluar daerah.

Ditanya mengenai klub sepak bola favorit, Sukoco menyukai Ajax Amsterdam dan Arsenal. Sementara untuk klub sepak bola Indonesia, Sukoco jelas mengidolakan Sleman. Dulu ia sempat menggemari Persib, namun akhir-akhir ini Sukoco lebih menyukai kualitas permainan Persipura, “Permainannya rapi,” kata Sukoco.

Karir sepak bola Sukoco dimulai ketika ia bermain di klub lokal. Ia bermain secara nomaden berdasarkan kebutuhan dan fasilitas yang ditawarkan klub. Menurutnya, pertumbuhan klub sepak bola di Yogyakarta sangat pesat dan padat. Sleman menjadi daerah yang memiliki klub paling banyak yaitu mencapai enam puluh. Klub tersebut dibagi menjadi tiga divisi; divisi dua, divisi satu, dan divisi utama. “Kompetisi terbaik dimiliki oleh DIY. Kota Yogyakarta saja klubnya cuma ada beberapa. Kalau Sleman memang rutin berkompetisi, makanya sudah ada banyak klub yang muncul untuk lingkup DIY sampai sekarang,” kata Sukoco.

Piala Soeratin yang digelar tahun 1986 sekaligus menandai karir awal Sukoco di PSS Junior. Pada waktu itu, kepengurusan sepak bola antara Jawa Tengah dan DIY masih bergabung menjadi satu. Oleh sebab itu Sukoco harus lolos seleksi di DIY terlebih dahulu untuk kemudian dapat melawan Jawa Tengah. Menurutnya, hal tersebut cukup menghalangi lahirnya bibit-bibit pesepakbola baru. Hal tersebut terbukti ketika kepengurusan sepak bola Jawa Tengah dan DIY akhirnya dipisah, bibit-bibit baru pesepakbola Sleman bermunculan.

Tantangan untuk lolos sampai ke divisi satu antara dulu dan sekarang pun telah berbeda. Sukoco dulu harus melawan Rembang, Kudus, dan Jepara untuk sampai ke divisi satu. “Sekarang kan dijadikan Liga Nusantara atau Linus yang bersaing dengan ribuan klub seluruh Nusantara. Padahal nanti perwakilan per regional yang diajukan ke divisi utama hanya satu,” jelasnya.

Oleh sebab itu Sukoco berpendapat ketika suatu klub sudah berada di divisi utama, posisi tersebut harus dipertahankan agar tidak terdegradasi. “Dari 56 klub divisi utama kemarin, semuanya dibagi ke dalam lima grup. Satu grupnya berisi sepuluh atau sebelas klub. Lima klub dari masing-masing grup dapat terdegradasi sekaligus,” kata Sukoco. Posisi PSS pada musim kemarin cukup berbahaya. PSS berada di grup empat bersama tiga klub lain dari DIY. “Resikonya besar dibandingkan dengan klub dari Jawa Timur yang jumlahnya ada tujuh. Mulai dari resiko tawuran dan resiko degradasi. Belum lagi kalau terdegradasi, bisa turun ke Liga Nusantara bersama Persikup Kulonprogo dan Persik Gunungkidul,” tambahnya.

Menariknya, menurut Sukoco, keberadaan Sleman United di Liga Nusantara diakui secara resmi oleh Pemda DIY. Padahal Sleman United hanya mengambil alih nama, “Secara administrasi pengurusnya berbeda. Kalau Sleman United itu klub gabungan dari klub-klub di Sleman yang dimiliki dan dikelola oleh perseorangan,” terang Sukoco sambil kemudian mempersilahkan minum.

Pengalaman menarik lain yang tidak dapat dilupakan Sukoco adalah ketika dirinya berpartisipasi dalam PKJK DIY. PKJK merupakan pertandingan bergengsi bagi seluruh cabang olahraga, “Dulu asyik, ramai, bisa ketemu antarkaryawan,” kenangnya. Pada waktu itu, Sukoco bertanding mewakili Bappenas dalam cabang olahraga sepak bola. Sayangnya, mulai tahun 1989 PKJK tidak lagi diadakan. Menurut Sukoco penghentian PKJK dapat disebabkan oleh besarnya biaya yang harus dikeluarkan pemerintah. “Ajangnya jauh, di Gunungkidul. Biaya penginapan dan akomodasi peserta dari seluruh kabupaten ditanggung sehingga biayanya mahal,” kata Sukoco.

Kini Sukoco telah banyak mencicipi asam garam dunia persepakbolaan di Sleman. Berbagai posisi pernah dijajalnya, mulai dari pemain, pelatih, hingga manajer sepak bola. Pengalamannya menjadi pemain sepak bola ia asah di PSS Sleman hingga berumur 30 tahun. Sebelumnya, Sukoco mengasah kemampuannya dengan bermain di Persatuan Sepak bola Sleman Tridadi (PSST). Rekor yang pernah ia catatkan adalah lima kali gol pada pertandingan melawan Godean Putra, “Itu skornya 5-0, saya 5 sendiri!” kenangnya bangga sembari tersenyum. Sukoco juga pernah berhasil mengantarkan PSST menjuarai Piala PSS Sleman dengan skor 1-0 melawan Angkatan Muda Sayegan (AMS).

Selepas menjadi pemain, Sukoco beralih menjadi pelatih sepak bola. Tercatat ia pernah melatih Langit Putera, Persijak, PSA Tama Bantulan, AMS, dan PS Pendak. Kurang lebih tujuh tahun ia habiskan untuk melatih pemain-pemain klub sepak bola di Sleman. “Saya paling suka melatih AMS. AMS  sangat mandiri sekali, tidak mewah. Saya bahkan membawa seragam, celana, dan kaos kaki sendiri. Tapi walaupun demikian saya senang karena semangat kebersamaannya paling bagus,” terangnya.

Pengalaman menjadi pelatih tersebut semakin memperkaya dirinya. “Saya sebenarnya melatih juga berdasarkan pengalaman. Kalau sekarang kan melatih harus punya lisensi,” katanya. Melahirkan pemain-pemain terbaik di PSS adalah kesan paling berarti yang ia dapatkan. Beberapa anak didiknya adalah Ade Kristian, Wahyu Sukarta, Chandra Lukmana, dan Dani Pratama.

Duka yang ia rasakan ketika melatih adalah ketika klub binaannya harus bertemu dengan tim dari Jawa Timur. Diakuinya tim Jawa Timur kompak. Sejumlah kecurangan-kecurangan juga pernah ia temukan, “Dulu pemain hanya diperiksa melalui ijazah atau akte kelahiran. Jadi pemain-pemain titipan bisa masuk asalkan bisa menunjukkan ijazah. Entah itu ijazahnya asli atau tidak. Akhirnya, sekarang sudah cukup bagus. Kecurangan seperti itu sudah mulai hilang karena sekarang umur diperiksa dengan identifikasi gigi pemain,” kata Sukoco.

Sukoco lalu menjajal bidang manajerial sepak bola melalui PSS di tahun 2013. Waktu itu Sukoco memegang peranan sebagi Panitia Pelaksana Pertandingan (Panpel) bagian LO tim tamu. Keinginan untuk terjun dalam bidang manajerial sepak bola juga dilatarbelakangi karena minimnya orang lain yang ingin mengurus klub sepak bola.

Sukoco kemudian mengikuti tes untuk dapat masuk ke bidang manajerial bersama lima orang lain. “Saya dulu gagal pas seleksi tes tertulis karena waktu itu PSS akan bertanding lawan Persebi Boyolali. Waktu tes bersamaan dengan keberangkatan tim ke Boyolali. Akhirnya, saya nggak konsentrasi mengerjakan soalnya dan nggak berhasil lulus. Kemudian ketika ada kesempatan bertemu dengan Bupati, beliau bertanya kenapa saya tidak lulus. Kemudian saya dipanggil Kepala Dinas Kepegawaian dan diberi kesempatan untuk mengikuti ujian ulang di kabupaten. Lalu selang sebulan saya ikut tes di provinsi,” cerita Sukoco panjang lebar.

Sukoco menjadi General Manager PSS Sleman sejak tahun 1 April 2015. Pada tahun 2014, sebelum kasus sepak bola gajah terjadi, ia mundur dari posisi Manajer Tim PSS yang ia duduki. Hal tersebut dikarenakan terdapat konflik internal, “Udah nggak maju, ada yang iri dan mempermasalahkan posisi saya di PSS Sleman,” kata Sukoco gemas. Sekarang hubungan dengan rekan-rekannya masih terhitung baik walaupun dalam beberapa sisi juga dilematis.

Sepak bola gajah sendiri merupakan kasus pertandingan antara PSS Sleman dan PSIS Semarang pada November 2014. Pertandingan tersebut mencetak lima gol bunuh diri saat keduanya bertemu di babak 8 besar divisi utama Liga Super Indonesia. PSIS Semarang mencetak dua gol bunuh diri, sementara PSS Sleman melakukan tiga kali gol bunuh diri. Hal tersebut diduga terjadi karena kedua tim tidak ingin menghadapi Borneo FC pada  babak selanjutnya.

Mei kemarin, Sukoco bersama jajaran manajemen PSS Sleman mengeluarkan pembubaran PSS Sleman yang cukup mengejutkan. Keputusan ini terpaksa dilakukan karena ketidakjelasan pertandingan Liga Indonesia pada musim selanjutnya. Ketidakjelasan tersebut juga merupakan dampak kisruh yang terjadi antara Menpora dan Persatuan Sepak bola Seluruh Indonesia (PSSI).

Sukoco menuturkan bahwa Pembubaran PSS Sleman merupakan hasil kesepakatan bersama antara pemain, pelatih, dan pihak manajemen. “Tim secara resmi akan dibubarkan. Bila nanti ada kompetisi resmi, yang entah akan dimulai kapan, maka pemain-pemain sebelumnya akan diprioritaskan untuk memperkuat PSS Sleman kembali” ujarnya. (chk)

Leave a Reply