Refleksi Bumi Manusia

Membaca Bumi Manusia seakan menyadarkan kita akan potret derita bangsa yang terjajah, bangsa Indonesia. Diskriminasi, pemerasan, ketidakadilan hukum dan HAM diceritakan dengan begitu apik, sehingga dapat membuat pembacanya larut dan turut membayangkan bagaimana rasanya hidup dalam masa penjajahan yang keji. Pesona novel ini juga tak dapat dilepaskan dari andil tokoh-tokoh utamanya, Minke, Nyai Ontosoro dan Annelis. Sosok Minke dalam novel ini digambarkan begitu dilematis. Minke merupakan putra dari seorang bupati, oleh sebab itulah ia dapat tumbuh sebagai pemuda yang cerdas, buah atas hak mengenyam bangku pendidikan ala Eropa. Kemasyhuran yang ia nikmati bahkan membuat Minke menutup muka akan jati dirinya sebagai darah murni pribumi. Bangsa Eropa yang diagungkan oleh Minke tetaplah  memandang bahwa orang-orang pribumi tak lebih dari gumpalan daging yang ditakdirkan untuk menjadi budak kulit putih.

Kekuatan novel ini juga dilahirkan Pram melalui nilai-nilai feminisme yang dibangun melalui penempatan tokoh-tokoh perempuan dalam posisi yang apik. Nyai Ontosoro contohnya, peran tersebut seakan menjadi salah satu sumber kharisma dalam novel ini. Nyai Ontosoro merupakan seorang wanita pribumi yang ‘dijual’ oleh keluarganya kepada seorang Belanda. Tak sempat merasakan kenikmatan emansipasi, wanita pribumi pada zaman penjajahan seolah ditakdirkan untuk saklek dan harus patuh pada nasib yang akan diberikan padanya. Meskipun demikian Nyai Ontosoro tidak tinggal diam, selepas menikah ia menyerap banyak ilmu dari suaminya. Ia tumbuh sebagai wanita pribumi yang sangat cerdas, bijaksana, bertangan dingin dan memiliki keagungan pribadi melebihi wanita-wanita Eropa berdarah biru.

Berlarut dengan kisah Bumi Manusia ini dapat membuat kita teringat sekaligus lupa. Teringat dan ikut merasakan kepedihan bangsa kita yang dulu dijajah, dibodohi serta diadu domba sedemikian rupa demi kepentingan orang-orang berkulit putih yang serakah. Namun saya yakin pastilah terbersit rasa syukur dalam diri pembaca, “untung saya tidak hidup di zaman penjajahan, untung sekarang Indonesia sudah merdeka, enak.” Padahal hingga saat ini kita masih terus dijajah, hanya saja kita sering kali lupa hakikat penjajahan karena hal tersebut terus berlangsung dengan cara-cara terselubung dalam kehidupan kita sekarang. Tak hanya bangsa Belanda saja, berbondong-bondong negara-negara lain terus mengeruk kekayaan yang kita punya. Seperti halnya Minke yang kemudian tersadar akan kondisi bangsanya, kita juga senantiasa dituntut untuk selalu memerdekakan bangsa kita sendiri dan tegak sebagai bangsa yang luhur dan berbudaya di atas kuasa sendiri.

Leave a Reply