Berawal dari pengalaman backpacking, Enggar Rhomadoni mendapatkan inspirasi untuk menciptakan sebuah karya seni. Inspirasi tersebut melintas ketika ia mencermati gambar dan tulisan yang terpampang pada bagian belakang truk.
Perjalanan Berbuah Inspirasi
Perjalanan backpacking Enggar menuju Banyuwangi-Bali-Lombok menjadi pengalaman yang tak terlupakan bagi mahasiswa Seni Lukis, Universitas Negeri Yogyakarta ini. Anggaran dana yang terbatas membuatnya tidak memiliki cukup uang untuk membeli tiket pulang. Bersama seorang temannya, Enggar kemudian berinisiatif untuk menumpang truk dari Banyuwangi hingga Yogyakarta. Perjalanan pulang tersebut memakan waktu selama dua hari. Enggar pun tak hanya menumpang pada satu truk saja, ia harus berganti-ganti truk, mulai dari truk pengangkut pasir hingga tebu. Pengalaman tersebut banyak memberikan Enggar perspektif baru, utamanya mengenai kehidupan supir truk, “Dari situlah saya akrab dengan supir-supir truk. Utamanya supir truk lintas (provinsi). Nah, waktu di daerah Probolinggo saya lihat truk yang di bagian belakangnya ada tulisan ‘Gagal Tobat’. Di situ saya mulai merasa tertarik,” katanya.
Enggar meramu inspirasi yang ia dapat dari perjalannya menjadi sebuah konsep karya seni untuk Jogja ArtWeeks (JAW) 2015. Meskipun Enggar adalah mahasiswa seni lukis, konsep karyanya sama sekali tidak menyinggung tentang gambar visual yang terpampang pada bagian belakang truk. Ia justru menitikberatkan pada kehadiran tulisan-tulisan yang menjadi ciri khas angkutan lintas provinsi tersebut. Tulisan-tulisan bernada jenaka, nakal, namun terkadang juga satir menjadi fokus utama karya Enggar. Melalui tulisan tersebut ia menggali makna dan keterkaitannya dengan kehidupan yang dijalani si supir, “Orang-orang melihat tulisan truk itu unik dan menggelitik. Kejujurannya membuat menarik. Kata-kata itu terasa akrab utamanya bagi kalangan menengah ke bawah,” terang Enggar.
Serba-Serbi Kisah Supir Truk
Duduk berdampingan dengan para supir truk selama perjalanan tentu memberikan Enggar banyak cerita seputar kerasnya hidup yang mereka jalani. Mulai dari kecilnya upah yang diterima, masalah BBM, ancaman kriminal, hingga konflik rumah tangga yang dihadapi para supir truk. Dari cerita-cerita tersebut Enggar mendapatkan sebuah kesimpulan, “Aku melihat ternyata tulisan-tulisan di truk itu memang mencerminkan latar belakang kehidupan si supir,” ujarnya. Begitu dinyatakan lolos ke tahap workshop kedua JAW, Enggar melakukan riset untuk memantangkan konsep karyanya. Selama lima hari ia mewawancarai dua orang supir dan pelukis bak truk di daerah perbatasan Wates – Purworejo.
Temuan-temuan menarik didapatkan Enggar ketika mewawancarai Agus, seorang pelukis bodi truk yang telah menekuni profesinya selama dua belas tahun. Selama ini pelanggan Agus dapat dibedakan menjadi dua, yaitu supir yang telah memiliki truk sendiri dan supir yang bekerja pada sebuah perusahaan. Truk-truk perusahaan biasanya akan dihias dengan iklan atau gambar dan tulisan yang mengandung pesan-pesan spiritual. Sedangkan supir yang telah memiliki truk sendiri akan lebih berani berekspresi dari segi tema, tulisan, maupun gambar. Enggar berkata bahwa 80% supir truk lintas meminta pelukis untuk menggambarkan sosok perempuan yang sensual pada bagian belakang truknya. “Aku juga tanya apakah pelukis menawarkan konsep-konsep terlebih dahulu, ternyata nggak. Justru supir truknya yang memesan gambar perempuan cantik dan seksi kemudian diberi tulisan yang diingini supir,” kata Enggar.
Utamakan Selamat
Menjadi supir truk tidak semudah yang dibayangkan. Melalui obrolan-obrolan Enggar dengan para supir truk, ia memahami bahwa para supir truk tidak mempunyai banyak pilihan lain, “Kemarin aku tanya siapa yang masih memotivasi mereka untuk melakukan pekerjaan ini, sedangkan kalau berat kan sebenarnya bisa mencari pekerjaan lain. Mereka jawab semua dilakukan untuk mencukupi kehidupan keluarga,” cerita Enggar.