Cognitive Dissonance Theory: LGBT Approach

Setiap individu dilahirkan dengan keunikan serta ciri khas yang membedakan satu orang dengan orang lainnya. Individu sebagai bagian dari masyarakat mempunyai andil menciptakan sebuah kesatuan sosial yang diwarnai dengan beragam perbedaan, baik perbedaan dari jenis kelamin, status sosial, pendidikan, kepercayaan, dan lain-lain. Namun kadang kala, perbedaan yang ada justru dapat menimbulkan diskriminasi terhadap golongan tertentu yang dianggap tidak mengamini nilai-nilai mayoritas dalam masyarakat.

Salah satu golongan yang rawan mengalami diskriminasi sosial adalah LGBT. LGBT merupakan akronim dari Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender. Golongan ini memiliki perbedaan orientasi seksual yang signifikan dengan masyarakat pada umumnya. Lesbian dan gay merupakan bagian dari homoseksual, dicirikan dengan rasa ketertarikan dan kecintaan pada pasangan dengan jenis kelamin yang sama. Lesbian mencintai sesama wanita sedangkan gay mencintai sesama pria. Biseksual merupakan istilah bagi orang yang memiliki ketertarikan secara psikologi, emosional dan seksual baik kepada wanita maupun pria. Sedangkan transgender adalah golongan orang-orang yang berperilaku, berpenampilan, merasa dan berpikir dengan cara yang berbeda dari jenis kelamin yang ditetapkan saat mereka lahir. Transgender dalam masyarakat Indonesia sering juga dikenal dengan sebutan waria, banci, bencong, priawan, tomboy, dll.

Menjadi bagian dari kaum LGBT di Indonesia bukanlah perkara yang mudah, walaupun secara tertulis pemerintah telah menjamin hak-hak tiap warga negaranya melalui Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 dan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Undang-undang tersebut mengacu pada pengakuan universal hak asasi manusia seperti yang tertuang pada Universal Declaration of Human Rights. Dalam deklarasi tersebut ditegaskan bahwa setiap manusia dilahirkan bebas dan sama dalam hak dan martabat, sehingga  tiap manusia harus dapat saling menghormati satu sama lain.

Sayangnya, apa yang tertulis berbeda dengan apa yang terjadi dalam praktek. Masyarakat Indonesia masih sering menjatuhkan stigma negatif dan menganggap bahwa kaum LGBT adalah bagian dari masalah sosial. Stigma tersebut biasanya diawali oleh adanya prasangka yang kemudian berkembang dan menimbulkan suatu kesewenang-wenangan dalam memperlakukan LGBT sebagai kaum minoritas. Adapun perlakuan kekerasan dan diskriminasi yang sering dijatuhkan masyarakat terhadap kaum LGBT adalah sbb. :

  1. Kekerasan seksual: Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ardhanary Institute dengan metode wawancara, ditemukan sembilan dari sepuluh orang LBT mengalami kekerasan seksual baik berupa perkosaan maupun pemaksaan aktivitas seksual. Pelaku kekerasan adalah keluarga, aparat penegak hukum, dokter, maupun masyarakat umum.
  2. Kekerasan fisik: Kekerasan yang dialami dapat berupa pemukulan, tamparan, dan diludahi.
  3. Kekerasan emosional: Mayoritas berupa penolakan dari keluarga setelah mengajukan pengakuan bahwa mereka adalah LGBT. Kekerasan yang dilakukan keluarga dapat berupa ancaman untuk menyembunyikan orientasi seksualnya, membatasi pergaulan, memaksa untuk kembali pada jalan yang benar, penolakan, ataupun pengusiran. Kekerasan emosional juga dilakukan oleh masyarakat melalui cemoohan, pengucilan serta pengusiran.
  4. Diskriminasi untuk mendapatkan pekerjaan: Kelompok LGBT, utamanya transgender, mengalami kesulitan untuk bekerja sesuai bidang yang dikuasai. Lapangan kerja yang bersifat formal sulit dimasuki kaum transgender karena sikap masyarakat yang belum bisa menerima keberadaan mereka. Pada akhirnya, mayoritas transgender bekerja dengan membuka usaha salon, rias pengantin, menjadi pengamen, entertainer, hingga pekerja seks komersial.
  5. Diskriminasi dalam hal akses terhadap keadilan: Kasus-kasus kekerasan yang dialami oleh kelompok LGBT seringkali diselesaikan di luar pengadilan karena dianggap sebagai sebuah aib yang memalukan. Proses hukum yang tidak berpihak tersebut menyebabkan korban dari kalangan LGBT enggan untuk melapor.
  6. Diskriminasi dalam pemilihan pasangan: Kelompok LGBT tidak mendapatkan haknya untuk memilih pasangan karena hukum yang berlaku di Indonesia melarang pernikahan sesama jenis. Bahkan terkadang kaum LGBT dipaksa dan terpaksa untuk menikah dengan lawan jenisnya agar tampak normal.

Kondisi masyarakat Indonesia yang tidak berpihak pada kaum LGBT menimbulkan problematika tersendiri bagi individu yang terjebak dalam perbedaan orientasi seksual ini. Sebelum bisa menerima apa yang terjadi dengan dirinya, kaum LGBT akan mengalami pergolakan batin. Dalam sudut pandang ilmu komunikasi, dapat dikatakan mereka terjebak dalam disonansi-disonansi tertentu sesuai yang dikaji dalam teori disonansi kognitif (cognitive dissonance theory). Oleh sebab itulah penulis tertarik mengaitkan problematika intrapersonal yang dihadapi kaum LGBT dengan teori disonansi kognitif yang dikemukakan oleh Leon Festinger.

Disonansi intrapersonal pada kaum LGBT

Tentunya tidak ada satupun manusia di dunia ini yang ingin terlahir sebagai bagian dari kaum LGBT. Tiap manusia ingin menjalani kehidupan normal tanpa harus mengalami tekanan batin maupun tekanan sosial dari golongan mayoritas masyarakat. Oleh sebab itulah proses internalisasi identitas diri pada kaum LGBT bukanlah perkara yang mudah. Dalam kajian komunikasi, kita dapat melihat fenomena ini dalam sudut padang teori disonansi kognitif. Adapun asumsi-asumsi dasar teori disonansi kognitif sbb. :

  1. Manusia memiliki hasrat akan adanya konsistensi pada keyakinan, sikap, dan perilakunya. Manusia tidak menyukai perasaan tidak nyaman dan berusaha mencari fakta-fakta yang akan menumbuhkan keyakinan (konsistensi) pada apa yang ia rasakan.
  2. Disonansi diciptakan oleh inkonsistensi psikologis. Manusia akan merasa inkonsisten secara psikologis jika tidak menyikapi pemikiran-pemikiran yang menurutnya memberikan kontradiksi antara fakta dan perasaan tidak nyaman dalam dirinya.
  3. Disonansi adalah perasaan tidak suka yang mendorong orang untuk melakukan tindakan-tindakan dengan dampak yang dapat diukur. Ketika seseorang mengalami inkonsistensi psikologis, disonansi yang tercipta menimbulkan perasaan tidak suka dan memicu tindakan untuk keluar dari ketidaknyamanan yang
  4. Disonansi akan mendorong usaha untuk memperoleh konsonansi dan usaha untuk mengurangi disonansi. Teori ini beranggapan bahwa rangsangan disonansi yang diberikan akan memotivasi seseorang untuk keluar dari inkonsistensi tersebut dan mengembalikannya pada konsistensi.

Jadi dapat kita simpulkan bahwa disonansi kognitif adalah perasaan yang dialami seseorang ketika menemukan diri mereka melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang mereka ketahui dan yakini sebelumnya. Disonansi sendiri dapat diartikan sebagai perasaan ketidakseimbangan dan ketidaknyamanan psikologis. Ketika seseorang menyadari ada kelainan orientasi seksual dalam dirinya, orang tersebut akan mengalami hubungan disonan. Hal tersebut dapat terjadi karena nilai-nilai yang beredar dalam masyarakat selama ini meyakini bahwa manusia tercipta untuk mencintai lawan jenisnya. Sedangkan homoseksualitas seperti pada kasus kaum LGBT adalah sesuatu yang tabu karena bertentangan dengan nilai norma agama, sosial, budaya, bahkan hukum yang berkembang dalam masyarakat.

Disonansi terjadi dalam intrapersonal individu, ditandai dengan perasaan resah, galau, dan tidak nyaman dengan keadaan yang ia rasakan. Penulis berpendapat jika sumber disonansi dapat digolongkan menjadi dua jenis, yaitu disonansi yang berasal dari dalam diri (internal) dan yang kedua berasal dari luar diri / lingkungan (eksternal).

  1. Disonansi internal, dalam kasus LGBT, terjadi ketika ada kesadaran bahwa mereka memiliki perbedaan orientasi seksual. Misalnya, individu menyenangi berpakaian atau berdandan layaknya lawan jenis, lebih nyaman bergaul dengan lawan jenis dan memiliki ketertarikan emosional maupun seksual terhadap sesama jenis. Puncaknya, individu akan merasa tidak nyaman serta tidak puas terhadap gender biologisnya sendiri dan mengalami gangguan dalam memahami identitas diri.
  2. Sementara itu, disonansi eksternal terjadi ketika individu menyadari bahwa nilai-nilai yang selama ini didapat melalui proses sosialisasi dalam keluarga, sekolah, media, maupun masyarakat bertentangan dengan kondisi yang ia alami. Nilai-nilai dalam agama tidak mendukung keberadaan kaum LGBT bahkan mengecam tiap pelakunya dengan dosa yang besar. Mayoritas orangtua tidak pernah mengajarkan maupun mengharapkan anaknya menjadi seorang LGBT. Nilai norma yang beredar dalam masyarakat luas pun menganggap bahwa LGBT adalah sebuah masalah sosial yang tidak layak ada.

Akumulasi dari disonan-disonan yang berasal dari dalam dan luar tersebut tak jarang menyebabkan individu merasakan dilema. Oleh sebab itu, individu merasa perlu untuk melakukan upaya dalam mengurangi disonansi dan menambah konsonansi.Tahapan-tahapan dalam mengurangi disonansi tersebut dapat diklasifikasikan sbb. :

1. Terpaan Selektif (Selective Exposure)

Yaitu tahapan untuk mencari informasi yang dapat menguatkan keyakinan individu dan menghindari informasi yang dapat menambah disonansi. Sesuai dengan asumsi teori ini, pada dasarnya orang tidak menyukai perasaan yang mengganggu kenyamanan. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi disonansi adalah mengurangi pentingnya keyakinan disonan, menghapuskan disonansi dan mencari informasi-informasi yang dapat membenarkan perasaan yang diyakini individu.

Seseorang yang akan memutuskan menjadi kaum LGBT terlebih dahulu melakukan usaha untuk menelisik informasi seputar dunia LGBT, bagaimana kehidupan dan risiko yang akan dihadapi seorang LGBT, komentar para ahli mengenai LGBT dari berbagai sudut pandang, dll. Dengan berkembangnya teknologi dan informasi, internet dapat memberikan peranan yang besar untuk memudahkan pencarian informasi mengenai berbagai macam hal, termasuk hal-hal yang dianggap tabu seperti LGBT.

Informasi juga bisa diperoleh individu dengan cara bergabung dengan  komunitas-komunitas LGBT atau lembaga yang menaruh perhatian pada isu LGBT. Sebagian dari komunitas tersebut adalah GAYa NUSANTARA (Surabaya), Perwakos (Surabaya), Igama (Malang), Galeri Sehat (Kediri), Yayasan Kebaya (Yogyakarta), PLU (Yogyakarta), Effort (Semarang), Semarang Gaya Community (Semarang), Srikandi Pamungkas (Bandung), Ardhanary Institute (Jakarta), Arus Pelangi (Jakarta), Yayasan Inter Medika (Jakarta), Swara (Jakarta), Gaya Dewata (Bali), Gay Lam (Lampung), Gaya Celebes (Makassar) Kipas (Makassar), Kelompok Sehati (Makassar), GWL Kawanua (Manado), Putroe Seujati (Banda Aceh), dll.

2. Pemilihan Perhatian (Selective Attention)

Tahapan ini merujuk pada mulai didapatkannya konsistensi berkat   informasi yang telah dikumpulkan. Individu akan meyakini informasi-informasi positif yang telah didapatkannya. Sementara itu, informasi-informasi yang tidak konsisten cenderung tidak diperhatikan sehingga tingkat disonansi dalam diri individu dapat berkurang.

Ketika individu telah memiliki pijakan yang atas apa yang mereka rasakan, maka individu terebut akan semakin yakin dengan keputusannya. Mereka mencoba mengesampingkan pandangan-pandangan miring orang lain mengenai LGBT dan mencoba memandang dengan kacamata nurani dirinya serta apa yang ia rasakan selama ini.

3. Interpretasi Selektif (Selective Interpretation)

Melibatkan penginterpretasikan informasi yang ambigu sehingga menjadi konsisten. Dengan upaya yang dilakukan individu untuk terus memahami kehidupan LGBT maka informasi-informasi yang tadinya ambigu mulai dapat dimengerti dan memberikan kontribusi dalam meningkatkan konsistensi dalam diri. Individu pun mulai yakin dengan keputusan untuk menjadi LGBT dan mulai terbuka kepada orang-orang terdekat.

4. Retensi Selektif (Selective Retention)

Tahapan ia ditandai dengana mengingat dan mempelajari informasi yang konsisten dengan kemampuannya yang lebih besar dibandingkan informasi yang tidak konsisten. Di sini, individu mulai sadar sepenuhya dengan keputusan yang ia ambil. Pada kaum LGBT, retensi selektif ditunjukkan dengan proses penerimaan diri secara seutuhnya. Hurlock menyatakan bahwa seseorang yang menerima dirinya memiliki penilaian yang realistis mengenai kelebihan dan penghargaan terhadap diri sendiri. Melalui penerimaan diri individu tidak akan merasa menjadi budak pendapat orang lain dan menjadi diri sendiri secara utuh dan bahagia.

Maka dari itu, individu tidak lagi ragu untuk menunjukkan identitas diri kepada orang-orang terdekatnya, walaupun harus menghadapi berbagai macam risiko. Retensi selektif juga terus dikuatkan melalui kemauan untuk saling berbaur dan berbagi bersama orang-orang LGBT lainnya.

Dapat kita simpulkan bahwa teori disonansi kognitif ini masih relevan dipergunakan dalam mengaji fenomena LGBT yang sekarang terus berkembang pesat.

 

Daftar Pustaka 

Durand, V. Mark dan David H. Barlow. 2007. Intisari Psikologi Abnormal (Terj). Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.

Endah, Alberthiene. 2012. Dicintai Jo. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Puspitosari, Hesti dan Sugeng Pujileksono. 2005. Waria dan Tekanan Sosial. Malang: UMM Press.

Susilandari, Endah. 2009. Living as Lesbian in Indonesia: Survival Strategies and Challenges in Yogyakarta. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM.

West, Richard dan Lynn Turner. 2009. Introducing Communication Theory Analysis and Application 4th Edition. New York: McGraw-Hill.

West, Richard dan Lynn Turner. 2013. Pengantar Teori Komunikasi Analisis dan Aplikasi Edisi Ketiga (Terj). Jakarta: Penerbit Salemba Humanika.

Tim Jaringan Pemantauan HAM LGBTI Indonesia. 2013. Laporan Situasi HAM LGBTI di Indonesia Tahun 2012. Pengabaian Hak Asasi Berbasis Orientasi Seksual dan Identitas Gender: Kami Tidak Diam. Surabaya: Forum LGBTIQ Indonesia GAYa NUSANTARA.

__. 2008. Dari Suara Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender (LGBT)Jalan Lain Memahami Hak Minoritas.Diakses tanggal 19 Juni 2014. Terarsip pada www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/2008/10/dari-suara-lgbt-jalan-lain-memahami-hak-minoritas-1-1.doc.

Leave a Reply