Judul: Kubah | Penulis: Ahmad Tohari | Penerbit : Gramedia Pustaka Utama | Cetakan : II, September 2001 | Tebal: 192 halaman | ISBN : 979-605-176-1
“…Sebelum datang kematian, setiap orang akan mengalami satu di antara tiga cobaan; sulit mendapat rezeki, kesehatan yang buruk, dan hilangnya orang-orang terdekat. Yang kini sedang terjadi pada dirimu, saya kira adalah gabungan ketiga cobaan hidup itu. Luar biasa memang. Namun apabila kamu percaya dan berserah diri kepada Tuhan, maka jalan keluar selalu tersedia…”
Tak ada yang mampu meragukan bahwa Ahmad Tohari memiliki nafas yang khas dalam setiap karyanya. Ia selalu berhasil menghadirkan kearifan masyarakat desa yang selama ini hanya dipandang sebagai masyarakat kelas bawah. Tema tersebut telah mendominasi sebagian besar karya seorang Ahmad Tohari. Melalui gaya bahasa yang apik dan santun, ia selalu mengajak pembacanya untuk belajar memaknai isu-isu sosial dari kesederhanaan hidup dan keikhlasan yang kaya dimiliki oleh masyarkat desa.
Judul: Love & Misadventure | Penulis: Lang Leav | Penerbit : Andrews Mc Meel Publishing | Bahasa : Inggris | Tebal: 178 halaman | Harga: Rp 229.000 (Periplus Bookstore) | ISBN : 978-1-4494-5647-4
“… Everyone has one –an inventory of lost things waiting to be found. Yearning to be acknowledged for the worth they once held in your life.
I think this is where I belong –among all your other lost things. A crumpled note at the bottom of a drawer or an old photograph pressed between the pages of book. I hope someday you will find me and remember what I once meant to you”
Bagi pecinta syair dan puisi, “Love & Misadventure” bisa menjadi buku yang tidak boleh dilewatkan. Berisi 75 puisi dan prosa pendek, Lang Leav mengemas puisi cintanya menjadi tiga bagian yaitu misadventure, the circus of sorrows, dan love. Masing-masing bercerita tentang pahit dan manis asmara layaknya kisah cinta yang dialami oleh setiap manusia. Ditulis dalam bahasa yang sederhana, pembaca tak perlu berkerut kening untuk mencerna maknanya. Kesederhanaan gaya bahasa dan momen-momen yang dihadirkan Leav dalam puisinya justru menjadi kekuatan dan keunikan tersendiri. Ia seolah-olah berhasil ‘mencuri’ kata-kata pembaca dan menyentuhkannya kembali kepada perasaan pembaca. Selain itu, buku ini juga berhasil menghadirkan suasana melankolis karena dilengkapi dengan beberapa ilustrasi khas yang diciptakan sendiri oleh sang penulis.
Judul: Maryam | Penulis: Okky Madasari | Penerbit : Gramedia Pustaka Utama | Cetakan : II, Februari 2013 | Tebal: 280 halaman | Harga: Rp 78.000 | ISBN : 978-979-22-8009-8
Sudah menjadi ciri khas seorang Okky Madasari untuk mengangkat isu-isu sosial sensitif ke dalam karyanya. Setelah mengisahkan penderitaan masyarakat desa berlatar era Orde Baru dalam “Entrok” (2010) serta korupsi dan narkoba dalam “86” (2011), Okky kemudian melahirkan novel ketiganya yang berjudul “Maryam”. Novel yang telah memenangkan penghargaan Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2012 ini menuturkan kisah tentang seorang wanita bernama Maryam dan keluarganya yang menganut keyakinan Ahmadiyah.
Jika selama ini kita hanya mengetahui kontroversi Ahmadiyah melalui pemberitaan di media massa, maka membaca novel Maryam akan menjadi pilihan yang tepat untuk melihat isu ini dari kacamata yang berbeda. Ironis, begitulah kesan yang akan pembaca dapatkan. Kehidupan Maryam sebagai kaum minoritas membuatnya harus menghadapi berbagai macam perlakuan yang tidak menyenangkan, bahkan yang datang dari orang-orang terdekatnya sekalipun. Tak hanya itu, perbedaan keyakinan yang ada juga membuat mereka harus terusir dari tanah kelahirannya sendiri. Secara keseluruhan, Okky seakan tengah mengajak para pembaca untuk melihat kaum Ahmadi layaknya manusia biasa, bukan sebagai penganut keyakinan yang selama ini dianggap menyimpang.
Judul : A Simple Life | Penulis : Desi Anwar | Penerbit : Gramedia Pustaka Utama | Cetakan : I, Desember 2014 | Bahasa: Inggris | Tebal: 288 halaman | Harga: Rp 115.000 | ISBN : 978-602-03-1148-7
Jangan salah sangka, Desi Anwar tidak akan membeberkan pengalaman karirnya dalam buku berjudul “A Simple Life”. Jika Anda berniat mengetahui cerita dan rahasia dibalik kesuksesan Desi Anwar sebagai jurnalis dan penyiar berita senior, maka buku ini bukan lah jawabannya. Di lain sisi, melalui tulisan-tulisan dalam A Simple Life, Desi mengajak pembacanya untuk merenungkan, mencermati dan menikmati hal-hal sederhana yang terjadi dalam hidup. Terkadang hal tersebut seringkali luput dari perhatian, tertimbun oleh berbagai macam kesibukan dan pikiran yang terdistraksi oleh hingar bingar dunia modern. Desi meyakini, ‘berhenti’ sejenak dan mencermati hidup adalah hal yang esensial bagi siapapun yang menginginkan hidup yang lebih damai.
Penulis berhasil mengemas buku ini dengan baik. Setiap coretannya seakan lahir dari perenungan dan pemaknaan mendalam akan kehidupan ala Desi Anwar. Begitu hati-hati namun juga lugas serta menyentuh. Hal unik yang dapat ditemukan dalam A Simple Life adalah penuturan Desi mengenai masa kecilnya. Bagaimana ia dibesarkan oleh kedua orangtuanya dengan cara yang sedikit tidak menyenangkan namun justru memberinya banyak pembelajaran. Selain itu, buku ini juga dilengkapi dengan jepretan foto-foto dari berbagai belahan dunia. Foto-foto tersebut merupakan hasil dari kegiatan travelling yang seringkali dilakukan oleh Desi Anwar.
Setelah dua kali melewatkan kesempatan untuk menyaksikan The Look Of Silence, akhirnya pagi ini keinginan saya keturutan. Di hari terakhir Festival Film Dokumenter (FFD) 2014, The Look Of Silence kembali diputar di IFI LIP Yogyakarta. Sebelumnya, film dokumenter karya Joshua Oppenheimer ini telah diputar pada pembukaan FFD 2014 (10/12) di Taman Budaya Yogyakarta dan di Fakultas Ilmu Budaya UGM (12/12). Kedua pemutaran tersebut mendapatkan sambutan yang sangat meriah. Salah seorang teman yang menyaksikan The Look Of Silence di FIB mengaku bahwa malam itu ruang auditorium bahkan tidak mampu menampung penonton. Sementara itu, pemutaran yang dilangsungkan di TBY turut dihadiri langsung oleh Adi Rukun, tokoh sentral dalam film itu. Oleh sebab itu, pagi ini saya sengaja datang lebih awal agar mendapatkan posisi tempat duduk yang strategis. Pukul 09.15 saya telah sampai di IFI, barulah pukul 10.00 tepat, penonton dipersilahkan memenuhi ruang pemutaran film.
The Look Of Silence (atau Senyap) merupakan kelanjutan dari film dokumenter The Act of Killing (atau Jagal). The Look Of Silence secara spesifik menghadirkan kisah keluarga Adi Rukun, mereka adalah keluarga penyintas pembantaian orang-orang komunis (atau tertuduh komunis) yang terjadi pada tahun 1965. Adi terpaksa kehilangan kakaknya, Ramli, dalam peristiwa kelam tersebut. Film ini menceritakan bagaimana Adi mencoba meminta “pertanggungjawaban” dari orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan kakaknya. Satu persatu pembunuh maupun keluarga pembunuh ia datangi secara terbuka. Pertemuan-pertemuan tersebut jelas tak dapat mengubah apapun, Adi bahkan semakin dihadapkan pada fakta masa lalu yang dihadapi oleh sang kakak serta dua juta lebih korban lainnya. Oppenheimer juga memperlihatkan Adi rekaman wawancara dua penjagal Ramli. Mereka dengan bangga mendeskripsikan bagaimana momen-momen Ramli dihabisi.
Secara garis besar The Look Of Silence memberikan point of view yang berbeda dengan The Act Of Killing. Jika dalam The Act Of Killing kita diajak bersimpati pada kekejaman para pembunuh, di film ini kita diajak bersimpati pada para penyintas pembantaian ’65. Seakan kembali mengingatkan bahwa, dengan alasan apapun, pembantaian tetaplah sebuah perbuatan yang sungguh keji dan tidak manusiawi. The Look Of Silence menurut saya lebih mudah dinikmati serta dipahami, tidak ada lagi adegan-adegan freak seperti pada film sebelumnya. Sisi human interest yang sangat ditonjolkan oleh Oppenheimer berhasil membuat penonton larut pada penderitaan yang dialami Adi. Keberadaan bapak dan ibu Adi yang sudah sangat sepuh melengkapi film dokumenter ini menjadi semakin apik (sekaligus tragis).
FYI, film yang telah mendapatkan delapan penghargaan internasional ini kena boikot untuk diputar di Universitas Brawijaya, Malang. Sayangnya juga The Look Of Silence belum bisa didownload secara gratis. Jadi, semangat ya menunggu pemutaran di kota masing-masing! Oh ya, sebelum menonton The Look Of Silence, pastikan pihak pemutar menjamin adanya keberadaan subtitle. Pasalnya, bahasa yang digunakan oleh para tokoh seringkali bercampur-campur antara bahasa Indonesia, bahasa Jawa, hingga bahasa daerah Medan. Oleh sebab itulah keberadaan subtitle baik bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris akan sangat membantu memahami jalan cerita. Jika film telah berakhir, sempatkanlah untuk memperhatikan credit title The Look Of Silence. Anda akan mendapati sedikitnya nama-nama orang Indonesia yang tercatat (atau mau dicatat) dalam proses pembuatan dan betapa banyaknya nama ANONYMOUS pada beragam jabatan produksi. Well, a controversial issue will always trigger a controversial effect.