Tak hanya tinggal diam, sejumlah warga Yogya berinisiatif membentuk komunitas-komunitas untuk menyikapi masalah lingkungan. Mereka melakukan berbagai kegiatan, mulai dari kampanye hingga pengawalan isu, demi Yogya yang lebih baik.
Minggu (8/3) pagi, Jalan Mangkubumi dipadati oleh masyarakat yang ingin menikmati acara car free day. Di tengah keramaian tersebut, sejumlah anak muda mengenakan kaus hitam bertuliskan angka 60. Mereka tergabung dalam Earth Hour (EH) Jogja, sebuah komunitas peduli lingkungan yang berdiri pada 2010. Ihsan Martasuwita, Ketua EH menjelaskan, “Earth Hour di Indonesia sudah ada sejak 2009. Terus berkembang ke 27 kota lain. Komunitas ini tidak hanya ada di Indonesia, tapi di 159 negara.”
Selama lima tahun berdiri, EH telah melakukan kampanye-kampanye untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya menerapkan gaya hidup yang ramah lingkungan. “Di tahun 2015 ini, kami fokus pada empat kegiatan. Pertama, tentu JogjaPetengan dalam rangka Hari Bumi. Kemudian ada Baby Tree Friends, kami mendonasikan dan memfasilitasi teman-teman yang ingin menanam pohon. Ada juga program KonservAksi penyu di Pantai Samas. Kami juga melakukan roadshow Sesami, Sekolahku Sayang Bumi, ke sejumlah SD setiap bulan,” kata Ihsan.
Menyikapi minimnya ruang terbuka hijau di Jogja, pada 14 Februari lalu EH mengadakan aksi Hari Kasih Taman di Titik Nol Kilometer. Melalui aksi ini mereka mengkritik minimnya keberadaan taman kota di Jogja. Selain kampanye yang ditujukan kepada masyarakat luas, EH juga telah melakukan audiensi ke BLH, Bappeda, hingga Pemerintah DIY untuk menyuarakan aspirasi masyarakat.
Satu tahun setelah Earth Hour Jogja berdiri, pada 2011 sejumlah anak muda lain melahirkan Koalisi Pemuda Hijau Indonesia (KOPHI) Jogja. Selain di Jogja, gerakan KOPHI juga tersebar di 20 provinsi lain di Indonesia. Berbeda dengan EH yang berbentuk komunitas, KOPHI menyatakan dirinya sebagai sebuah organisasi yang bersifat cukup mengikat. Seleksi yang harus dilalui cukup ketat, yakni meliputi seleksi berkas, wawancara, pembinaan selama tiga bulan hingga akhirnya dilantik menjadi anggota. Uniknya, KOPHI tidak menerima para perokok sebagai anggotanya.
Kegiatan yang telah dijalankan KOPHI selama ini berfokus pada masalah yang terjadi di pesisir dan daerah aliran sungai Jogja seperti Kali Code, Winongo, dan Gajah Wong. “Kami fokus pada masalah ekosistem sungai. Tahun 2012, kami bekerja sama dengan Dinas Perikanan Jogja melepas 3.000 bibit ikan di Bintaran Kulon. Syukurlah, sekarang sudah berkembang dengan baik dan jadi manfaat bagi warga sekitar. Padahal awalnya, itu cuma percobaan karena kami ingin tahu air Kali Code terpolusi atau tidak,” kata Lalu Hendri Bagus, Ketua KOPHI. Lalu juga menerangkan bahwa KOPHI menganut prinsipsustainable, oleh sebab itu ia dan rekan-rekannya terus memantau perkembangan sungai binaan KOPHI. Mereka turut mengajak masyarakat yang tinggal di sekitar sungai untuk bersama-sama menjaga lingkungan tempat mereka tinggal.
Merespons isu komersialisasi Jogja, KOPHI mengaku tak keberatan atas pembangunan hotel yang berkembang pesat beberapa tahun terakhir. “Kami setuju saja, asal mereka punya AMDAL dan memenuhi kewajiban dengan baik. Hotel harus terbuka menyampaikan ke masyarakat bagaimana perencanaan pembangunannya, bagaimana mereka memperhatikan dampak lingkungan hingga mengelola limbah.” KOPHI juga mengapresiasi upaya pemerintah yang berusaha menggalakkan ruang terbuka hijau di sekitar perkampungan warga. KOPHI menilai upaya pemerintah tersebut kurang mendapatkan publikasi sehingga banyak masyarakat yang tidak mengetahuinya.
Aksi lain datang dari Lintas Jogja Group, sebuah komunitas berbasis media sosial Facebook yang menginisiasi acara Jogja Bersih (Jogber). Dengan dilatarbelakangi oleh keinginan untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat, sejak akhir 2014 mereka rutin menyambangi kawasan Titik Nol Kilometer dan Malioboro setiap bulannya. Tak hanya berkumpul, berbekal sarung tangan dan kantong plastik, anggota Lintas memungut sampah-sampah yang tercecer di trotoar. Sampah yang terkumpul nantinya akan dibuang di TPS dekat Pasar Beringharjo. “Yang kami temukan macam-macam, contohnya alat kontrasepsi laki-laki, pembalut, sampai kutang. Pernah juga saya melihat ada perempuan yang buang air sembarangan di trotoar. Dia memakai kertas yang dibentuk kerucut kemudian ditempelkan, buang air sambil berpura-pura telepon,” kata Hestanisyar Basyir, Ketua Lintas Jogja Group. Melalui Jogja Bersih, mereka berupaya melakukan aksi yang sebenarnya sederhana namun sering dilupakan oleh warga dan wisatawan.
Jauh sebelum ketiga komunitas di atas lahir, Jogja juga telah mempunyai pahlawan di bidang lingkungan. Pahlawan itu adalah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jogja yang berdiri pada 1986. WALHI Jogja adalah organisasi berbasis forum yang beranggotakan 10 kelompok pecinta alam dan 19 lembaga swadaya masyarakat.
WALHI juga mengukuhkan keberadaannya dengan kekuatan akta notaris di tingkat nasional. Oleh sebab itu, WALHI memiliki ruang gerak yang lebih leluasa dalam memperjuangkan isu-isu lingkungan. “Dalam proses advokasi di WALHI ada tiga poin yang kami lakukan, yaitu kampanye, riset kajian kebijakan dan data, serta pengorganisasian masyarakat. Dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah kami kuatkan riset agar jadi referensi dalam mengawal kebijakan yang sudah ada maupun yang akan dibuat. Harapannya kebijakan tersebut benar-benar pro terhadap rakyat dan lingkungan,” kata Halik Sandera, Direktur Eksekutif WALHI.
Aksi WALHI turut melibatkan masyarakat secara kolaboratif. Contohnya ketika WALHI beraksi bersama masyarakat daerah Gunung Merapi untuk menghalangi kegiatan penambangan pasir illegal di sekitar lahan pertanian. WALHI juga bekerja sama denganWarga Berdaya dan Watchdog untuk memproduksi film berjudul Belakang Hotel. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya untuk memaparkan dan menyadarkan masyarakat Jogja tentang isu-isu lingkungan. Selain itu, WALHI tak ragu mengajukan judicial reviewatau legal standing terhadap kebijakan lingkungan yang krusial. Salah satunya adalah kebijakan tentang aktivitas tambak udang di pesisir selatan Bantul serta kebijakan pemetaan kawasan bentang alam karst di Gunung Sewu, Gunung Kidul, Wonogiri dan Pacitan.
Perjuangan Earth Hour, KOPHI, Lintas maupun WALHI dilatarbelakangi tujuan yang sama, yaitu agar masyarakat Jogja menjadi lebih sensitif pada isu-isu lingkungan. Meskipun masing-masing bergelut pada isu yang berbeda, tak jarang apa yang mereka perjuangkan melengkapi satu sama lain. Tanggung jawab yang diemban tak menjadi masalah selama semua pihak bergerak mencapai bersama. Seperti yang diungkapkan Lalu Hendri Bagus, “Teman-teman di KOPHI maupun di komunitas lingkungan lain punya beban moral lebih besar. Ini karena pola hidup kami menjadi sorotan dan contoh bagi banyak orang.” (chk)