Perkembangan musik dan audio merupakan salah satu buah dari kemajuan zaman modern yang bisa kita nikmati. Berbagai macam lantunan lagu dari aliran musik yang berbeda-beda dapat kita dengarkan dan dapat kita peroleh dengan mudah. Bagi sebagian orang, musik juga menjadi sarana untuk mengekspresikan diri dan mengembangkan bakat yang dimiliki. Tak terkecuali bagi para pelaku industri dunia musik. Penyanyi, pemain band, dan musisi adalah beberapa profesi yang menggantungkan penghidupannya dari gagap gempita panggung dunia hiburan. Tak hanya melalui dapur rekaman, mereka dapat pula menghibur penggemarnya secara virtual melalui channel Youtube ataupun Soundcloud.
Sarana bagi para musisi untuk menyapa penggemar pun semakin terbuka lebar dengan santernya program-program musik yang ditayangkan oleh berbagai stasiun televisi. Diawali dengan program Dahsyat (RCTI) dan Inbox (SCTV), stasiun-stasiun televisi lain kemudian juga berlomba-lomba untuk membuat program serupa. Program musik ini biasanya akan menayangkan video-video musik yang sedang digemari masyarakat dan juga mengundang para penyanyi untuk menghibur penonton secara langsung. Namun jika diamati secara lebih teliti, kita akan mendapatkan suatu kejanggalan ketika menyaksikan penampilan para penyanyi. Ternyata mereka tak sungguh-sungguh bernyanyi, melainkan hanya menampilkan aksi lipsync!
Menurut Oxford Dictionary, lipsync adalah aksi menggerakkan bibir tanpa suara untuk kemudian disinkronkan dengan musik yang telah direkam sebelumnya. Aktivitas ini biasanya dilakukan oleh para aktor atau penyanyi. Di negeri kita, praktek lipsync banyak beredar dalam program-program musik televisi yang kita tonton sehari-hari. Mulai dari penyanyi pendatang baru hingga penyanyi-penyanyi bernama besar pun tak lagi malu untuk melakukan lipsync. Tak hanya pada program musik televisi saja, beberapa penyanyi bahkan berani melakukan lipsync di atas panggung ajang penghargaan bergengsi hingga pagelaran kelas internasional seperti Java Jazz. Alasannya pun bermacam-macam, sound system tidak memadai, kondisi tidak fit, hingga beralasan untuk tetap menunjang penampilan sembari menari.
Meskipun secara nyata telah menampilkan aksi tipuan, lipsync di Indonesia relatif belum menimbulkan perdebatan yang serius. Masih banyak penonton yang tak mempersalahkan hal tersebut, mereka sedikit banyak telah cukup terhibur dengan penampilan fisik sang idola di atas panggung. Lain halnya dengan masyarakat luar negeri yang sangat menghujat aksilipsync. Bagi mereka hal tersebut adalah wujud ketidakprofesionalan para penyanyi. Salah satu skandal lipsync yang paling menghebohkan datang dari duo Milli Vanili. Penghargaan yang mereka terima sebagai Best New Artist pada Grammy Awardstahun 1990 pun harus dicabut karena ternyata seluruh lagu pada album mereka dinyanyikan oleh orang lain.
Beberapa negara bahkan secara tegas mengeluarkan aturan tertulis mengenai larangan melakukan lipsync. Pemerintah Korea Selatan contohnya, pada tahun 2012 telah mengatur undang-undang performing act amandement yang salah satu isinya adalah larangan bagi artis dan penyanyi negeri ginseng tersebut untuk melakukan lipsync. Hal tersebut dilakukan pemerintah Korea untuk tetap menjaga dan memperbaiki kinerja para musisi Korea yang tengah giat mengekspansi panggung hiburan dunia. Senada, Departemen Kebudayaan China bahkan telah menetapkan larangan lipsync sejak tahun 2010. Pelanggaran akan dikenakan denda sebanyak lima puluh ribu yuan, pencabutan izin tampil, hingga hukuman kurungan.
Nah, bagaimana dengan Indonesia? Tentu kita tidak dapat mengelak fakta bahwa lipsync masih begitu merajalela. Entah berapa tahun lagi pemerintah Indonesia akan berinisiatif membuat undang-undang performing act layaknya di Korea Selatan, namun kita sebagai penikmat industri musik dan sebagai penonton yang cerdas harusnya mempunyai kuasa dalam menuntut para musisi untuk bekerja secara jujur dan lebih profesional. Karena bukankah pekerjaan utama seorang penyanyi adalah bernyanyi? (chk)