Dua spanduk yang kontradiktif terpasang di depan Gang Kelapa Gading Jl Kaliurang Km 5,3.
Warga Karangwuni, Sleman, Jogjakarta tidak dapat berhenti resah karena pembangunan Apartemen Uttara tetap berjalan. Warga yang tergabung dalam Paguyuban Warga Karangwuni Tolak Apartemen Uttara (PWKTAU) telah menyuarakan penolakan sejak awal tahun 2014. Namun, hal tersebut tak diindahkan oleh PT Bumi Alam Permata selaku pengembang Uttara. Akibatnya, proyek pembangunan yang tengah berlangsung sangat mengusik dan merugikan warga sekitar. Di lain sisi, sekelompok warga yang menamakan dirinya Paguyuban Warga Karangwuni Peduli Perubahan (PWKPP) menyuarakan hal yang berbeda. Mereka mendukung pembangunan Uttara karena dinilai akan memberikan pengaruh positif bagi warga sekitar.
Adiono selaku pengurus PWKTAU menilai bahwa Uttara telah banyak melakukan pelanggaran. “Di undangan sosialisasi pertama, mereka bilang hanya akan mendirikan indekos eksklusif. Warga Karangwuni yang diundang waktu itu pun bisa dihitung jari. Kemudian tiba-tiba daftar kehadiran sosialisasi dilampirkan menjadi daftar persetujuan. Proses pembuatan berita acara pun tidak melibatkan warga, padahal dalam berita acara ada poin yang menyebutkan bahwa warga Karangwuni tidak keberatan dengan pembangunan Uttara,” terangnya. PWKTAU juga menyayangkan penandatanganan berita acara secara sepihak oleh Dukuh Karangwuni. Dikonfirmasi mengenai hal tersebut, Sarwiyono, Dukuh Karangwuni berujar, “Ya masa tanah dibeli kok tidak boleh dibangun. Kita kan tidak bisa apa-apa. Kenapa juga tidak datang sosialisasi? Kalau begini, sekarang yang salah siapa?”.
Proses pembangunan Uttara telah memberikan dampak negatif, utamanya bagi warga RT 1 Karangwuni. “Selama hampir empat bulan, nyanyian pengantar tidur kami adalah suara mesin, getaran, atau dentuman yang membuat kami merasa tidak nyaman. Kami kehilangan hak asasi atas jam belajar dan istirahat,” ujar Teti Budi Susilowati, warga RT 1 Karangwuni yang juga menjabat sebagai Sekretaris PWKTAU. Beberapa pengurus PWKTAU pun sempat mendapatkan ancaman serta intimidasi dalam bentuk verbal maupun nonverbal. Di lain kesempatan, oknum-oknum berbadan tegap dengan sengaja melakukan perusakan spanduk yang berisi penolakan terhadap pembangunan Uttara. Akibatnya, PWKTAU tidak segan mengajukan gugatan kepada BLH, DPRD, dan Bupati Sleman yang dinilai bertanggung jawab atas timbulnya konflik ini. PWKTAU juga telah mendapatkan dukungan dari Komnas HAM Jogjakarta, Ombudsman Jogjakarta, Pusat Kajian Bantuan Hukum UGM, Wahana Lingkungan Hidup Jogjakarta serta berbagai LSM lain di Jogjakarta.
Kekhawatiran warga Karangwuni atas pembangunan Uttara tidak dapat dilepaskan dari dampak yang mungkin ditimbulkan seperti kekeringan air, limbah, banjir maupun kemacetan. Dalam kesempatan yang lain, dampak negatif pembangunan hotel maupun apartemen dibenarkan oleh Halik Sandra, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Jogjakarta, “Tentu yang merasakan dampak terbesar adalah warga sekitar. Pertama, kuantitas atau ketinggian air tanah dangkal yang dimanfaatkan warga dapat berkurang. Kedua, saat gedung dibangun sangat tinggi, rumah-rumah disekitarnya pasti akan kekurangan sinar matahari. Selain itu, turbulensi angin juga akan terpengaruh.”
Namun kekhawatiran yang dirasakan PWKTAU tidak turut dirasakan oleh 150 warga yang tergabung dalam PWKPP. “Kami tidak dirugikan karena nantinya warga apartemen pasti akan membaur ke masyarakat. Apartemen Uttara juga akan membawa kemajuan bagi perekonomian di Karangwuni,” kata Hartono, Pembina PWKPP. Pada tanggal 2 April lalu, PWKPP melakukan aksi di depan kantor DPRD Sleman sebagai bentuk dukungan pembangunan Uttara. “Sebagai bentuk kompensasi dari dukungan kami, pihak apartemen ternyata memberikan bantuan untuk membangun balai dusun,” tambah Hartono. Keberadaan kubu pro dan kontra di antara warga Karangwuni tak ayal mendatangkan sumber permasalahan baru, seperti yang diungkapkan oleh Adiono, “Sekarang otomatis jadi terasa nggak rukun dan nggak harmonis. Seperti ada perang dingin.”