Merapal Dari Perbatasan

Bukan lautan hanya kolam susu… katanya

Tapi kata kakekku hanya orang-orang kaya yang bisa minum susu

Kail dan jala cukup menghidupimu… katanya

Tapi kata kakekku ikan-ikan kita dicuri oleh banyak negara

Tiada badai tiada topan kau temui… katanya

Tapi kenapa ayahku tertiup angin ke Malaysia?

Ikan dan udang menghampiri dirimu… katanya

Tapi kata kakek, awas! ada udang di balik batu

Orang bilang tanah kita tanah surga

Tongkat kayu dan batu jadi tanaman… katanya

Tapi kata dokter Intel belum semua rakyatnya sejahtera
Banyak  pejabat yang menjual kayu dan batu untuk membangun surganya sendiri

Puisi tersebut terekam dalam sebuah adegan di film berjudul Tanah Surga..Katanya, sebuah karya dari sutradara Herwin Novianto yang diluncurkan pada tahun 2012, tepatnya pada tanggal 15 Agustus 2012, dua hari sebelum hari peringatan kemerdekaan Indonesia. Film ini mengangkat isu kehidupan masyarakat Indonesia di daerah Kalimantan Barat yang berbatasan langsung dengan Serawak, Malaysia. Tanah Surga…Katanya menampilkan ironi kehidupan sebuah keluarga yang sekaligus menjadi cerminan dari ironi kehidupan warga negara yang tidak terpenuhi hak-hak hidupnya secara layak.

Dikisahkan Hasyim (Fuad Idris) merupakan seorang mantan pejuang perang konfrontasi Indonesia-Malaysia yang selalu memegang teguh semangat nasionalisme. Ia selalu menceritakan kisah-kisah heroik perjuangannya kepada cucu-cucunya, Salman (Osa Aji Santoso) dan Salina (Tissa Biani Azahra), yang tinggal bersamanya. Suatu hari Haris (Ence Bagus), anak Hasyim, datang untuk mengajak mereka semua pindah ke Malaysia dengan alasan karena Negeri Jiran mampu menyediakan peluang hidup yang lebih baik. Hasyim bersikeras bertahan untuk menetap di Indonesia ditemani oleh Salman yang lebih memilih untuk tinggal bersama sang kakek.

Warna kisah lain datang dari kehadiran Ibu Astuti (Astrid Nurdin), seorang guru yang ditempatkan untuk mengajar di perbatasan tersebut melalui sebuah kebetulan dan keterpaksaan. Hadir pula Dokter Anwar (Ringgo Agus), seorang dokter dari Bandung yang ‘melarikan diri’  karena sepi pasien. Mereka berdua hadir sebagai sosok yang mengabdikan diri untuk masyarakat pelosok desa tersebut, walaupun berada dalam fasilitas dan keadaan yang serba terbatas. Astuti contohnya, mengajar di sebuah sekolah yang sebelumnya telah ditutup selama satu tahun dengan kondisi satu ruangan disekat menjadi dua untuk kelas tiga dan kelas empat SD. Setali tiga uang, Dokter Anwar juga harus berdamai dengan minimnya fasilitas yang ada. Pasokan obat yang tidak memadai, jangkauan sinyal telepon genggam yang susah, serta akses menuju rumah sakit yang sangat sulit dijangkau.

Diproduseri oleh Deddy Mizwar, film ini tak jauh berbeda dengan nada-nada film karyanya yang terdahulu, yaitu sarat dengan kritik akan isu sosial dan sentilan kepada pemerintah. Deddy Mizwar mendeklarasikan Tanah Surga..Katanya ini sebagai sebuah cerminan nyata akan kondisi kehidupan masyarakat perbatasan memiliki banyak problem seperti yang digambarkan pada film ini, yaitu problem nasionalisme, pendidikan dan akses untuk mendapatkan fasilitas kesehatan yang layak.

Problem nasionalisme merupakan ancaman sehari-hari yang dihadapi oleh masyarakat perbatasan. Pembangunan dimonopoli oleh kota-kota besar di Jawa. Daerah luar Jawa, khususnya daerah perbatasan, dianaktirikan oleh pemerintah. Sentralisasi pembangunan tersebut akhirnya menimbulkan sebuah jurang kesenjangan. Di lain sisi, masyarakat daerah perbatasan seakan disodorkan sebuah fakta bahwa mereka merasa lebih mudah menjangkau negara tetangga karena minimnya perhatian pemerintah. Pada film tersebut diceritakan bahwa masyarakat perbatasan pada umumnya tidak mengenal mata uang rupiah. Mereka lebih sering berdagang dan melakukan transaksi dengan mata uang ringgit milik Malaysia. Pasokan kebutuhan pokok dan aktivitas jual beli didapatkan dari negara tetangga karena akses yang lebih mudah, tanpa mempedulikan tetek bengek urusan imigrasi .

Pendidikan dan pemenuhan kesehatan daerah perbatasan telah menjadi buah bibir yang telah lama diperbincangkan. Tenaga guru dan dokter berlimpah, namun yang berani mendedikasikan dirinya untuk turun ke pelosok Indonesia sangat jauh dari kata cukup. Lagi-lagi permasalahan kembali pada segala keterbatasan yang harus dihadapi, masyarakat perbatasan pun terpaksa harus hidup dalam ketertinggalan dan ketidaklayakan. Padahal hak-hak dasar untuk mendapatkan pendidikan dan fasilitas kesehatan tersebut telah dijamin dalam UUD 1945 Pasal 28C ayat 1 yang berbunyi “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”, serta Pasal 28H ayat 1 yang berbunyi “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”

Dari segi pemain, bisa dikatakan kualitas akting yang disajikan telah cukup prima. Tokoh-tokoh utama dapat bermain secara natural dalam porsi yang pas. Bahkan Ringgo Agus yang selama ini identik dengan peran-peran yang konyol dapat memposisikan dirinya sebagai figure seorang dokter. Peran tokoh-tokoh pembantu seperti kepala dusun, Pak Gani (Norman Akyuwen) serta celetukan-celetukan Lized (Muhammad Rizky) dapat menghidupkan suasana film ini menjadi lebih kocak dan cair.

Dengan segala kelebihannya, bukan berarti film yang telah meraih enam piala Festival Film Indonesia (FFI) 2012 ini tidak mempunyai kekurangan. Keganjilan Tanah Surga..Katanya dapat dirasakan melalui kemunculan produk-produk khas Deddy Mizwar seperti Sosis So Nice, Promag, dan Entrostop. Hal semacam ini juga terjadi dalam film garapan Deddy sebelumnya, Alangkah Lucunya Negeri Ini (2010). Beruntung, iklan-iklan terselubung tersebut dikemas secara cukup wajar, tak terlalu berlebihan dan norak seperti di film Alangkah Lucunya Negeri Ini.

Tanah Surga..Katanya bukan satu-satunya film yang telah mengangkat isu masyarakat perbatasan, telah lahir sebelumnya Tanah Air Beta (2010), Batas (2011), Badai di Ujung Negeri (2011), serta Atambua 39° (2012). Namun Tanah Surga..Katanya seakan tampak lebih mencolok dalam kancah perfilman nasional dengan keberhasilannya memborong piala FFI 2012 untuk kategori untuk kategori film terbaik, sutradara terbaik, penulis cerita asli terbaik, pengarah artistik terbaik, pemeran pembantu pria terbaik, serta penata musik terbaik. Terlepas dari itu semua, Tanah Surga..Katanya ini merupakan film pas ditonton untuk semua kalangan. Menyadarkan masyarakat Indonesia lain bahwa kehidupan di daerah perbatasan jauh dari segala konvensionalitas yang dapat dinikmati masyarakat pada umumnya. Bagi pemerintah, tentu, film ini memberikan cambukan dan sentilan agar kehidupan masyarakat pedalaman serta perbatasan lebih diperhatikan melalui kebijakan-kebijakan nyata yang efektif.

Leave a Reply