Menikmati McDonald’s dengan Selera Lokal (Tinjauan Fenomena Glokalisasi)

Laju McDonald’s

Menjamurnya gerai fast food atau makanan cepat saji telah menjadi fenomena yang tidak dapat dihindari. Begitu pula dengan yang terjadi di Indonesia, kita dapat dengan mudah menjumpai beragam gerai makanan cepat saji. Bahkan gerai makanan cepat saji tidak hanya dapat ditemukan di kota-kota besar saja, kota-kota kecil juga tidak luput dari keberadaan gerai makanan cepat saji walaupun jumlahnya tidak sebanyak di kota besar. Makanan cepat saji telah menjadi bagian baru dalam kehidupan masyarakat dan juga anak muda.

Salah satu gerai makanan cepat saji yang mengalami pertumbuhan yang pesat adalah McDonald’s. McDonald’s didirikan oleh Dick, Mac McDonald, dan Ray Kroc pada 1955 di Amerika Serikat. Sebelum Ray Kroc bergabung, bakal McDonald’s merupakan gerai kecil bernama McDonald’s Bar-B-Q Open yang telah dirintis Dick dan Mac McDonald sejak 1940. Gerai yang berada di 14th and E street San Bernadino, California ini didesain agar para pengendara mobil dapat mengunjunginya dengan mudah (car hop service). Mereka menjual beberapa menu makanan dan minuman seperti hamburger, cheeseburger, kentang goreng, dan soft drink. Karena menu yang mereka buat terbatas, mereka berkomitmen untuk memberikan sajian yang berkualitas dengan pelayanan yang cepat kepada pelanggan.

McDonald’s mulai berkembang pesat ketika Ray Kroc mencetuskan visi agar gerai makanan cepat saji ini dapat memiliki cabang di seluruh Amerika Serikat. Untuk memaksimalkan pekembangan, Ray Kroc merancang model bisnis franchise atau waralaba. Cabang-cabang waralaba McDonald’s yang ada diwajibkan untuk menerapkan standar kerja yang dijunjung tinggi McDonald’s, yaitu kualitas, servis, kebersihan, dan value.

            Keberhasilan Ray Kroc dalam merancang ulang McDonald’s dibuktikan dengan terjualnya seratus juta hamburger McDonald’s pada tahun 1958. Selain itu, pada tahun 1965, sebanyak 700 gerai McDonald’s telah berdiri di seluruh Amerika Serikat. Tahun tersebut juga menandai penjualan saham terbuka perdana McDonald’s seharga $22.50 per share. Ray Kroc terus memacu perkembangan McDonald’s dengan cara menayangkan iklan televisi pada tahun 1966. Berkat berbagai strategi dan standar tersebut McDonald’s menjadi jaringan gerai makanan cepat saji terbesar di dunia. Pada tahun 2011, McDonald’s telah berhasil membuka cabang-cabangnya di 119 negara seluruh dunia.

Di Indonesia, McDonald’s pertama kali hadir di Sarinah, Jakarta pada tahun 1991. Adalah seorang Bambang Rachmadi, mantan Presiden Direktur Panin Bank, yang berhasil membawa lisensi McDonald’s ke Indonesia. Demi mendapatkan lisensi pendirian McDonald’s di Indonesia, Bambang bahkan berani meninggalkan karir di dunia perbankan. Hasilnya, pada tahun 2011 McDonald’s Indonesia berhasil membuka 112 gerai yang tersebar di 24 kota Indonesia.

Peran Globalisasi

Pesatnya perkembangan McDonald’s di seluruh penjuru dunia adalah bentuk dari homogenisasi kultural di bidang budaya konsumen yang disebabkan oleh globalisasi (Barker, 2009:304). Globalisasi menurut Robertson (dalam Barker, 2009:117) adalah konsep yang mengacu pada penyempitan dunia secara intensif dan peningkatan kesadaran kita atas dunia, yaitu semakin meningkatnya koneksi global dan pemahaman atas dunia luar.

Tidak dapat dihindari, pengaruh globalisasi turut merambah ke bidang ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari keberadaan perusahaan dan industri transnasional. Pada awalnya, globalisasi ekonomi dunia dipicu oleh adanya resesi. Upaya pemulihan resesi ini membuat globalisasi ekonomi dunia berkembang cepat yakni meliputi percepatan pendapatan produksi dan konsumsi yang didukung oleh penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (Harvey dalam Barker, 2009:119-120).

Globalisasi tidak hanya menyasar pada bidang ekonomi saja, ia memengaruhi aspek yang lebih besar yaitu kultural. Negara satu dengan negara yang lain dapat saling memengaruhi kebudayaan masing-masing. Hal tersebut ditengarai sebagai penyebab munculnya imperialisme dan homegenisasi kultural. Homogenisasi kultural menyatakan bahwa globalisasi kapitalisme yang menyasar konsumen akan berakibat pada hilangnya keragaman kultural. Dunia akan memiliki sebuah kesamaan kultural yang lahir dari dominasi suatu kebudayaan tertentu. Hamelink (dalam Barker, 2009:121) mengganggap bahwa agen utama sinkronisasi kebudayaan adalah perusahaan-perusahaan transnasional utamanya perusahaan-perusahaan Amerika Serikat.

Melalui kutipan-kutipan pemikiran di atas maka tidaklah berlebihan jika kita menghubungkan pesatnya perkembangan gerai makanan cepat saji McDonald’s dengan fenomena globalisasi. McDonald’s sendiri adalah sebuah perusahaan yang memiliki sistem dan jaringan global. Oleh sebab itulah, McDonald’s mampu menjangkau berbagai negara di dunia. Eksistensi McDonald’s menyebabkan hamburger, kentang goreng, dan soft drink menjadi makanan yang dikenal dan dikonsumsi oleh seluruh masyarakat penjuru dunia.

McDonald’s dan Upaya Glokalisasi

Namun jika dikaji ulang, kita dapat melihat terdapat hal yang unik dalam strategi pemasaran McDonald’s. McDonald’s tidak serta merta memaksakan menu andalan mereka kepada masyarakat di berbagai belahan dunia. Sebaliknya, McDonald berusaha mendekati masyarakat lokal dengan sajian menu khusus yang telah dimodifikasi dari menu utama andalan McDonald’s. Fenomena ini dapat kita sebut dengan istilah glokalisasi.

Oleh Robertson (dalam Barker, 2009:125), secara singkat glokalisasi dikatakan sebagai adopsi dari istilah pemasaran untuk menyebut produksi lokal secara global dan lokalisasi global. Glokalisasi menjelaskan adanya interaksi antara dimensi global dan lokal. Keadaan di tingkat global memengaruhi keadaan di tingkat lokal dan sebaliknya. Alih-alih saling mengalahkan, keduanya berkolaborasi membentuk kebudayaan baru yang dapat disebut dengan glokalisasi. Dari pihak pelaku, glokalisasi merupakan upaya perusahaan transnasional untuk memenuhi kebutuhan dan permintaan masyarakat lokal.

Menurut Kotler (dalam Sayogi, 2013) tujuan yang ingin diraih dari adanya glokalisasi adalah (1) pelanggan merasa bahwa brand relevan dan sesuai dengan kebutuhan serta keinginan mereka, (2) tercipta harmoni dan keseimbangan antara tingkat marketing yang berbeda, (3) brand mendapatkan market share yang semakin besar.

Menurut Sayogi (2013) strategi komunikasi glokalisasi yang diterapkan oleh McDonald’s dapat dibagi menjadi tiga dimensi sebagai berikut:

  1. Branding: cara McDonald’s membentuk citra di masyarakat terkait dengan merk dari produk atau layanan.
  2. Service excellence: kinerja serta performa dari layanan yang diberikan, mampu mengakomodir keinginan dan kebutuhan pelanggan.
  3. Variasi menu dan promo: Menu dan promo disesuaikan dengan budaya lokal sehingga mampu merebut hati pelanggan.

Contoh gamblang upaya glokalisasi yang dilakukan oleh McDonald’s dapat terlihat melalui menu-menu khusus di setiap negara. Misalnya menu ayam goreng tepung krispi McDonald’s hanya dihadirkan di Asia saja. Di luar Asia, hamburger tetap menjadi andalan utama. Uniknya, penjualan menu ayam McDonald’s dapat mengalahkan penjualan hamburger. Sementara itu, hanya beberapa negara seperti di Indonesia dan Filiphina saja yang menjual menu nasi. Di negara-negara lain menu nasi digantikan oleh kentang atau makanan pokok masing-masing. Menu McDonald’s yang dihadirkan juga mempertimbangkan budaya yang berlaku di negara tersersebut. Di India, McDonald’s tidak menjual daging sapi karena hewan tersebut merupakan hewan sakral bagi masyarakat India yang masyoritas beragama Hindu. Sebagai gantinya McDonald’s India menjual daging kambing, domba, ayam, dan menu-menu vegetarian. Di Israel yang mayoritas masyarakatnya menganut agama Yahudi, McDonald’s menghadirkan menu kosher. Ajaran kosher melarang kaum Yahudi untuk memakan daging dan produk susu secara bersamaan. Oleh sebab itu McDonald’s di Israel tidak menjual cheeseburger (Trinity, 2011:61).

Kita masih dapat menemui menu-menu unik McDonald’s lainnya yang tersebar di berbagai dunia. Contohnya burger bulgogi (Korea), burger babi (Jepang dan India), burger teriyaki (Jepang), burger salmon (Norwegia), burger bratwurst (Jerman), burger labu dan omelet (Hungaria), burger lobster (Kanada), kebab (Turki dan Israel), prata (India dan Maroko), burger bacon (Inggris), bubur ayam dan burger pedas (Indonesia), dan sebagainya. Keragaman menu tidak hanya terjadi pada makanan tetapi juga menu minuman. Contohnya McDonald’s di Perancis dan Jerman menawarkan bir sementara McDonald’s di Argentina menawarkan wine.

Pendekatan kultural tidak hanya dilakukan pada menu makanan saja. Segi service atau pelayanan juga disesuaikan dengan karakteristik masyarakat yang ada. Sebagai contoh, Indonesia adalah satu-satunya negara yang menawarkan pelayanan pesan antar (delivery order). Strategi ini diterapkan mengingat masyarakat Indonesia menyukai sesuatu yang serba mudah dan praktis. Interior gerai McDonald’s di Indonesia juga dirancang secara khusus. Keberadaan kursi, sofa dan meja diperbanyak karena masyarakat Indonesia memiliki budaya nongkrong berlama-lama di restoran seperti McDonald’s. Selain itu McDonald’s juga kerap kali menjadi jujukan tempat makan dan rekreasi keluarga, oleh sebab itulah kita dapat menemukan keberadaan area bermain anak-anak dan promo ulang tahun anak-anak. Di luar negeri seperti Amerika atau Eropa, McDonald’s sekadar dibangun di pinggir jalan dan minim tempat duduk karena mayoritas masyarakat akan membeli secara take away. Keberadaan tempat duduk dalam sejarah McDonald’s pun baru diawali pada tahun 1962. Ketika itu, gerai McDonald’s di Denver, Colorado, Amerika Serikat menjadi McDonald’s pertama yang menyediakan tempat duduk.

Keunikan lain dari strategi glokalisasi yang diterapkan McDonald’s di Indonesia adalah pelanggan yang makan di tempat tidak perlu repot-repot membersihkan meja dan sisa-sisa makanannya. Hal ini juga diterapkan di Belanda dan Jepang. Sementara di beberapa negara lain seperti Jerman, McDonald’s memberlakukan sistem self cleaning yang membuat setiap pelanggan yang makan di tempat harus membereskan sendiri perabotan, sampah, atau sisa makanannya.

Melalui pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa globalisasi bukan merupakan aliran satu arah yang bersifat monolitik dari Barat ke seluruh dunia. Kita dapat melihat ada pengaruh ide dan praktik non-Barat terhadap ide dan praktik Barat. Contohnya melalui fenomena glokalisasi dari komodifikasi penjualan makanan McDonald’s seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Menurut Giddens (dalam Barker, 2009:124) hal ini adalah fase baru dari globalisasi yang tidak berlangsung satu arah tetapi merupakan bentuk ketergantungan dunia baru dan kesadaran yang mendunia.

 

Daftar Pustaka

Abidin, Didin. 2010. Kisah Sukses: Bambang N. Rachmadi – McDonald’s Indonesia. Terarsip     dalam       http://www.theprofessional.biz/article/71/. Diakses pada 22 Juni 2015.

Sayogi, Yekti Sakanti. 2013. Analisis Perusahaan Multinasional Sebagai Bentuk Strategi   Komunikasi Terhadap Kaum Bridgehead (Studi Kasus McDonald’s Dan Mahasiswa Universitas Indonesia). Makalah Non-Seminar. Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Indonesia. Jakarta.

Trinity. 2011. The Naked Traveler 3. Yogyakarta: B-first.

http://www.mcdonalds.com/us/en/our_story/our_history/the_ray_kroc_story.html

http://www.mcdonalds.com/us/en/our_story/our_history.html

Leave a Reply