Dinobatkan sebagai kampung wisata dan budaya, Kelurahan Kadipaten memiliki beragam kesenian yang unik. Ragam kesenian ini adalah potensi besar yang menjadi daya pikat utama Kadipaten.
Sejak tahun 2013, Kelurahan Kadipaten telah diproyeksikan untuk berkembang menjadi kampung wisata di Yogyakarta. Penetapan Kadipaten sebagai kampung wisata tentunya tidak serta merta tanpa alasan. Terletak di jantung kota budaya Yogyakarta, aroma kebudayaan serta geliat kesenian tradisional dapat dirasakan betul di Kadipaten. Hal tersebut tentunya tidak dapat dipisahkan dari upaya warganya untuk tetap menjaga dan menggiatkan kearifan lokal melalui berbagai kelompok kesenian.
Lansia Produktif Bermusik
Salah satu kelompok kesenian yang dapat ditemui di Kadipaten adalah Lansianos. Lansianos merupakan grup musik akustik yang berbasis di RW 6 Kadipaten. Mayoritas anggotanya adalah para pra lansia dan lansia yang memiliki hobi dan bakat di bidang seni musik. Meskipun tak lagi digolongkan berusia produktif, mereka tak kehilangan semangat untuk berkarya. Awalnya, kebanyakan lagu yang dibawakan Lansianos bernuansa Amerika Latin dan Indonesia Lama. Hal tersebut sekaligus melatarbelakangi penamaan Lansianos, singkatan dari Lansia yang ber-Nostalgia. Kini, setelah delapan tahun berdiri, Lansianos semakin menguasai berbagai macam genre musik, mulai dari pop Jawa, pop Indonesia, pop barat, dangdut, campursari, hingga langgam. Alat musik yang dimainkan juga khas dan beragam, contohnya benjo, bongo, marakas, biola, gitar serta drum.
Eksistensi Lansianos tak terlepas dari masalah yang harus dihadapi. Salah satunya adalah mengenai kehadiran angggota, seperti yang dituturkan oleh Mujiono, pembina Lansianos, “Jika ada satu saja bagian yang tidak hadir, maka Lansianos tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya”. Jika ada anggota yang tutup usia maka Mujiono juga harus mencari pemain pengganti di lingkungan RW 6 Kadipaten maupun di luar itu. Proses rekrutmen tidak dilakukan sembarangan karena terdapat kriteria tertentu yang harus dipenuhi.
Melestarikan Yang Hampir Punah
Kelompok kesenian lain yang dapat ditemui adalah Paguyuban Gejog Lesung Puspo Sworo di RW 13 Kadipaten. Lesung yang dahulu hanya berfungsi sebagai alat penumbuk padi berkembang menjadi bentuk kesenian tradisional. Suara yang dihasilkan antara alat pemukul dan lesung dipadukan sedemikian rupa menjadi irama yang enak didengar. Namun, seiring berkembangnya teknologi, keberadaan lesung telah digantikan oleh mesin penggiling padi. Tak pelak, keberadaan kesenian Gejog Lesung pun semakin sulit ditemui.
Keberadaan kesenian Gejog Lesung di Kadipaten berawal dari gagasan Toto dan Saronto. Berbekal pendidikan seni yang dikantongi dari ISI dan SMKI Yogyakarta, keduanya mengajak warga Kadipaten untuk melestarikan kesenian ini. Pemain Gejog Lesung tak hanya berasal dari kalangan ibu-ibu paruh baya, pemuda serta anak-anak pun aktif terlibat. Mereka juga memadukan irama lesung dengan alat musik yang lain seperti saron dan rebana sehingga apik digunakan sebagai iringan lagu, drama, tari, pentas dolanan anak hingga penyambutan wisatawan. Namun, Paguyuban Gejog Lesung Puspo Sworo juga masih menemui beberapa masalah, “Kendala kami adalah tempat latihan dan tempat untuk meletakkan lesung dan instrumen lainnya. Barang-barang yang digunakan saat pentas seperti kostum juga diperlukan,” kata Toto.
Menari Hingga Mancanegara
Kesenian yang berada di Kadipaten tidak hanya seni musik saja, terdapat pula seni tari yang digiatkan oleh sanggar Siswa Among Beksa. Awalnya, sanggar tari tersebut bernama Bebadan Among Beksa yang telah didirikan sejak 13 Mei 1952. Bebadan Among Beksa dahulu dipimpin langsung oleh GBPH Yudhanegara, adik dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Kemudian di tahun 1978, sanggar tari ini dibentuk menjadi sebuah yayasan agar mempunyai status hukum.
Anggota Yayasan Siswa Among Beksa adalah penduduk sekitar Kadipaten dan masyarakat umum dengan batasan usia mulai dari 10 tahun. Banyak jenis tarian Jawa klasik yang diajarkan, di antaranya Tari Sari Sumekar, Tari Matagaretna, Tari Beksan Putri, Tari Golek Sulung Dayung, dan Tari Serimpi untuk para perempuan. Sedangkan untuk pria, terdapat Tari Tayungan, Tari Klana Alus, Tari Beksan Alus, Tari Wiraga Tunggal dan masih banyak lagi. Mereka berlatih sebanyak tiga kali dalam satu minggu.
Selaras dengan misi untuk melestarikan warisan budaya tari Jawa klasik, Yayasan Siswa Among Beksa telah mengikuti berbagai perayaan budaya, di antaranya Sekaten, HUT Kota Yogyakarta dan Festival Wayang Uwong. Tidak hanya itu, Yayasan Siswa Among Beksa juga telah menorehkan eksistensi di kancah mancanegara. Pada tahun 1971, seorang donatur dari Belanda membiayai Yayasan Siswa Among Beksa untuk melakukan tur tari keliling Eropa selama tiga bulan. Sanggar tari ini juga pernah mengikuti ajang pentas di berbagai negara, seperti Monako, Jepang, Amerika Serikat dan Srilanka.
Apresiasi teramat untuk perjuangan ketiga kelompok seni di Kadipaten ini. Hobi berbuah prestasi. Menghibur sekaligus menjadikan lestari. Begitu luar biasa semangat warga Kelurahan Kadipaten untuk menjaga dan melestarikan budaya tradisional di masa kini. Masa dimana budaya lokal berkesempatan kecil untuk dilirik apalagi dipelajari. Mari peduli! (chk/hst/aml)