Setelah dua kali melewatkan kesempatan untuk menyaksikan The Look Of Silence, akhirnya pagi ini keinginan saya keturutan. Di hari terakhir Festival Film Dokumenter (FFD) 2014, The Look Of Silence kembali diputar di IFI LIP Yogyakarta. Sebelumnya, film dokumenter karya Joshua Oppenheimer ini telah diputar pada pembukaan FFD 2014 (10/12) di Taman Budaya Yogyakarta dan di Fakultas Ilmu Budaya UGM (12/12). Kedua pemutaran tersebut mendapatkan sambutan yang sangat meriah. Salah seorang teman yang menyaksikan The Look Of Silence di FIB mengaku bahwa malam itu ruang auditorium bahkan tidak mampu menampung penonton. Sementara itu, pemutaran yang dilangsungkan di TBY turut dihadiri langsung oleh Adi Rukun, tokoh sentral dalam film itu. Oleh sebab itu, pagi ini saya sengaja datang lebih awal agar mendapatkan posisi tempat duduk yang strategis. Pukul 09.15 saya telah sampai di IFI, barulah pukul 10.00 tepat, penonton dipersilahkan memenuhi ruang pemutaran film.
The Look Of Silence (atau Senyap) merupakan kelanjutan dari film dokumenter The Act of Killing (atau Jagal). The Look Of Silence secara spesifik menghadirkan kisah keluarga Adi Rukun, mereka adalah keluarga penyintas pembantaian orang-orang komunis (atau tertuduh komunis) yang terjadi pada tahun 1965. Adi terpaksa kehilangan kakaknya, Ramli, dalam peristiwa kelam tersebut. Film ini menceritakan bagaimana Adi mencoba meminta “pertanggungjawaban” dari orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan kakaknya. Satu persatu pembunuh maupun keluarga pembunuh ia datangi secara terbuka. Pertemuan-pertemuan tersebut jelas tak dapat mengubah apapun, Adi bahkan semakin dihadapkan pada fakta masa lalu yang dihadapi oleh sang kakak serta dua juta lebih korban lainnya. Oppenheimer juga memperlihatkan Adi rekaman wawancara dua penjagal Ramli. Mereka dengan bangga mendeskripsikan bagaimana momen-momen Ramli dihabisi.
Secara garis besar The Look Of Silence memberikan point of view yang berbeda dengan The Act Of Killing. Jika dalam The Act Of Killing kita diajak bersimpati pada kekejaman para pembunuh, di film ini kita diajak bersimpati pada para penyintas pembantaian ’65. Seakan kembali mengingatkan bahwa, dengan alasan apapun, pembantaian tetaplah sebuah perbuatan yang sungguh keji dan tidak manusiawi. The Look Of Silence menurut saya lebih mudah dinikmati serta dipahami, tidak ada lagi adegan-adegan freak seperti pada film sebelumnya. Sisi human interest yang sangat ditonjolkan oleh Oppenheimer berhasil membuat penonton larut pada penderitaan yang dialami Adi. Keberadaan bapak dan ibu Adi yang sudah sangat sepuh melengkapi film dokumenter ini menjadi semakin apik (sekaligus tragis).
FYI, film yang telah mendapatkan delapan penghargaan internasional ini kena boikot untuk diputar di Universitas Brawijaya, Malang. Sayangnya juga The Look Of Silence belum bisa didownload secara gratis. Jadi, semangat ya menunggu pemutaran di kota masing-masing! Oh ya, sebelum menonton The Look Of Silence, pastikan pihak pemutar menjamin adanya keberadaan subtitle. Pasalnya, bahasa yang digunakan oleh para tokoh seringkali bercampur-campur antara bahasa Indonesia, bahasa Jawa, hingga bahasa daerah Medan. Oleh sebab itulah keberadaan subtitle baik bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris akan sangat membantu memahami jalan cerita. Jika film telah berakhir, sempatkanlah untuk memperhatikan credit title The Look Of Silence. Anda akan mendapati sedikitnya nama-nama orang Indonesia yang tercatat (atau mau dicatat) dalam proses pembuatan dan betapa banyaknya nama ANONYMOUS pada beragam jabatan produksi. Well, a controversial issue will always trigger a controversial effect.