Keberadaan usaha pencucian pakaian (laundry) di Jogjakarta kian menjamur. Permintaan yang tinggi, utamanya dari kalangan mahasiswa, membuat banyak orang tergiur untuk menuai keuntungan bisnis tersebut. Kemudahan dan keuntungan yang dinikmati oleh mahasiswa dan pengusaha kerap kali membuat dampak negatif usaha laundry luput dari perhatian. Usaha laundry menyumbang kadar pencemaran lingkungan yang cukup serius, utamanya dalam pencemaran air dan tanah. Tak hanya sampai di situ, limbah laundry juga dapat menyebabkan penyakit gudik yang ditimbulkan oleh kutu Sarcoptes scabiei. Walaupun banyak dampak negatif mengancam, hingga kini belum ada usaha serius dari pemerintah untuk menangani hal ini.
Masalah utama yang ditimbulkan oleh usaha laundry bersumber dari limbah hasil cucian. Air deterjen yang mengandung berbagai macam bahan kimia dapat membahayakan lingkungan jika langsung dibuang ke saluran air tanpa diolah terlebih dahulu. Oleh sebab itu, semua industri yang menghasilkan limbah cair diwajibkan memiliki instalasi pengolahan air limbah (IPAL). Namun, dari 400 usaha laundry di Jogja, baru 20% di antaranya yang telah memenuhi persyaratan pengelolaan limbah. Jumlah tersebut didominasi dengan usaha laundry berskala besar. Sedangkan usaha laundry berskala rumahan masih abai dengan isu semacam ini.
Ari Widi Rumekti, salah satu pengusaha laundry di daerah Karangmalang tertarik untuk mencoba bisnis laundry agar dapat menghasilkan tambahan pemasukan bagi keluarga. Ari telah membuka usahanya sejak tahun 2010 tanpa terganjal oleh peraturan apapun. Kini, ia mampu mendapatkan keuntungan lebih dari satu juta per bulannya, “Itu sudah dipotong biaya sabun, listrik, dan gaji untuk aku. Tapi usahaku cuma rumahan biasa, mesin cuci juga cuma ada dua,” terangnya. Sejak awal menjalankan usaha, Ari mengaku tidak pernah mendapatkan himbauan maupun sosialisasi terkait pengelolaan limbah. Selama ini, ia terbiasa membuang limbah laundry ke saluran air secara langsung.
Disinggung mengenai keterkaitan antara limbah laundry dan pencemaran lingkungan Ari berkata, “Limbah laundry itu kan cuma air kotoran sabun cuci biasa, bukan dari bahan kimia. Kalau laundry besar yang pakai obat mungkin bisa terjadi pencemaran, tapi kalau sekedar usaha rumahan yang memang nyuci memakai sabun biasa, nggak juga sepertinya.” Ari pun berdalih jika mencuci pakaian telah menjadi kegiatan rumah tangga sehari-hari. Semua air hasil cucian rumah tangga biasanya dibuang secara langsung ke saluran air, “Selama ini juga nggak menjadi limbah yang berbahaya,” tambahnya.
Menanggapi isu ini, Koalisi Pemuda Hijau Indonesia (KOPHI) menilai bahwa menjamurnya usaha laundry adalah bentuk konsekuensi Jogja sebagai kota pelajar. Laundry menjadi pilihan yang praktis bagi mahasiswa yang malas atau tidak mempunyai waktu. Walaupun demikian, bukan berarti pemerintah hanya bisa pasrah, “Jika menengok ke peraturan, kita bisa mengacu pada Perda Kota Yogyakarta Nomor 6 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Air Limbah Domestik. Dalam peraturan tersebut telah dijelaskan bahwa limbah laundry tidak boleh dibuang pada instalasi pembuangan limbah komunal, IPAL terpusat, sungai maupun saluran air hujan. Limbah harus melalui proses pengolahan terlebih dahulu. Cuma, peraturan tinggal hanya peraturan. Pada kenyataannya masih banyak limbah dibuang begitu saja tanpa sesuai prosedur yang sudah ditentukan,” terang Lalu Hendri Bagus, Ketua KOPHI Jogjakarta.
Selain diatur dalam Perda Kota Yogyakarta Nomor 6 Tahun 2009, permasalahan limbah laundry juga termuat dalam Peraturan Gubernur DIY Nomor 7 Tahun 2010 tentang Baku Mutu Limbah Cair bagi Kegiatan Industri, Pelayanan Kesehatan, dan Jasa Pariwisata. Dalam Pergub tersebut telah diatur baku mutu limbah cair. Mutu limbah cair sendiri diartikan sebagai keadaan limbah cair yang dinyatakan dengan volume, kadar, dan beban pencemar. Parameter telah ditetapkan dan dirumuskan sedemikian rupa oleh BLH. Semua parameter tersebut harus berada pada kisaran ambang batas untuk dapat dikatakan aman dan tidak mencemari lingkungan.
KOPHI tak lantas tinggal diam, mereka sempat mengadakan audiensi dengan Badan Lingkungan Hidup (BLH) Jogjakarta. BLH telah mengakui dan menyadari bahwa limbah laundry adalah masalah yang harus mendapat perhatian lebih. Namun di sisi lain, masalah ini juga dilematis karena mayoritas usaha laundry berskala rumah tangga yang erat kaitannya dengan masalah kesejahteraan. Usaha laundry bermodal kecil tidak mungkin dipaksa untuk menerapkan IPAL karena biaya yang dibutuhkan cukup besar. “Untuk masalah laundry ini, memang jarang yang mempermasalahkan karena erat kaitannya dengan warga Jogja sendiri. Berbeda dengan isu Jogja Asat atau Jogja Ora Didol karena hotel, apartemen, mall, dan sebagainya dikuasai oleh pendatang,” tambah Lalu.
Mayoritas pengguna layanan laundry adalah mahasiswa, salah satu di antaranya adalah Nadia Putri Danasari. “Saya pilih laundry tentu saja karena praktis. Biaya yang harus dikeluarkan juga terbilang murah daripada harus nyuci dan nyetrika sendiri,” ujarnya. Di semester awal perkuliahan, Nadia sempat mencuci bajunya sendiri, namun baju-baju yang sudah ia jemur sering menjadi kotor kembali karena kehujanan. “Aku nggak selalu ada di kos dan belakangan semakin sibuk kegiatan kuliah, jadi ya laundry saja,” kata Nadia.
Senada dengan Nadia, Ikhsan Nur Rachman juga memilih laundry karena kecepatan layanannya. “Laundry langganan saya punya mesin pengering sendiri. Jadi walaupun musim hujan seperti ini, cucian tetap bisa selesai dalam satu atau dua hari. Walaupun sedikit mahal, laundry saya bersih, setrikaannya rapi, wangi, plus ada jasa antar jemput cucian,” kata Ikhsan. Harga yang dipatok oleh usaha laundry di Jogja memang bervariasi, rata-rata berkisar pada Rp2.500–Rp3.500 per kilogram. Sedangkan laundry yang menawarkan jasa lebih eksklusif seperti yang digunakan oleh Ikhsan dapat mencapai Rp5.000 hingga Rp 7.000 per kilogramnya. Beberapa usaha laundry bahkan menawarkan jenis-jenis pelayanan baru seperti penggunaan cairan anti bakteri, teknologi filter nano hingga ultra violet.
Namun, baik Nadia dan Ikhsan tidak memiliki pemikiran jika limbah laundry dapat menyebabkan pencemaran lingkungan. “Saya tidak pernah berpikir sejauh itu sih, bahkan saya baru menyadari. Selama ini saya sekedar memanfaatkan jasa mereka tanpa tahu bagaimana tempat laundry mengelola limbah,” kata Ikhsan. Melihat hal ini, KOPHI sebagai organisasi pecinta lingkungan berupaya untuk terus melakukan sosialisasi terkait dampak limbah laundry, “Memang saat ini belum terasa dampak yang ditimbulkan. Tetapi jika lama-lama dibiarkan pasti akan terjadi ancaman,” terang Ketua KOPHI.
Selain masalah pencemaran lingkungan, limbah laundry juga dapat berpengaruh pada kesehatan. Seperti yang dilansir pada Tribun Jogja (4/5), Kepala Seksi Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, Endang Sri Rahayu mengungkapkan jika bahan kimia yang terkandung dalam limbah laundry dapat memicu iritasi dan alergi pada kulit. Bahan kimia tersebut di antaranya adalah linear alkylbenzene sulphonate, surfaktan, clorin, ammonium kuartener, dan lain-lain. Kandungan kimia tersebut diuji dalam empat parameter IPAL yaitu Total Suspended Solid (TSS), Total Disolved Solid (TDS), Biological Oxygen Demand (BOD) dan Chemical Oxygen Demand (COD).
Ditengarai, limbah laundry juga dapat menularkan penyakit gudik atau Scabies. Penyakit tersebut disebabkan oleh kutu Sarcoptes scabiei. Ketika pencucian dalam usaha laundry menyampurkan pakaian antarpelanggannya, maka resiko penyebaran kutu Sarcoptes scabiei patut diwaspadai. Terlebih ketika proses pencucian tidak higienis. Hal tersebut terjadi karena penyakit ini dapat menular secara tidak langsung lewat pakaian atau handuk. Oleh sebab itu, pengusaha laundry disarankan membilas cucian dengan air panas agar terbebas dari kuman, bakteri, dan kutu Sarcoptes scabiei.
Tak hanya Jogja yang mengalami permasalahan akibat limbah laundry. Beberapa tahun lalu, tepatnya di tahun 2012, Bantul sempat dihebohkan oleh masalah serupa. Limbah laundry mencemari sumur dan saluran irigasi warga. Air yang awalnya jernih berubah warna menjadi kekuningan. Ancaman tersebut dirasa menjadi serius karena tanaman padi yang merupakan sumber pangan masyarakat terkena dampak langsung dari limbah laundry.
Mencari solusi dari permasalahan limbah laundry, BLH sebenarnya telah berhasil menciptakan alat untuk mengatasi limbah cair. Temuan BLH tersebut berbentuk persegi panjang dengan ukuran panjang, tinggi dan lebar masing-masing 98x50x56 cm. Nantinya, alat ini berfungsi sebagai filter deterjen. Limbah dari tiga mesin cuci berkapasitas enam hingga tujuh kilogram dapat ditangani oleh alat ini. Alat filter deterjen BLH memiliki empat sekat ruang. Filter pertama diisi dengan batu solid, tawas cair, dan abu soda. Limbah cair yang akan dibuang terlebih dahulu melewati sekat-sekat tersebut sehingga bahan kimia yang berbahaya dapat dinetralisir.
Selain berfungsi menyaring bahan kimia, alat filter deterjen BLH juga memiliki manfaat yang lain. Pada proses filtrasi di kotak keempat, alat ini akan mengendapkan fosfat dari limbah laundry. Endapan fosfat tersebut dapat digunakan sebagai pupuk atau bahan organik tambahan yang mampu diserap oleh tanaman.. Tak hanya digunakan untuk usaha laundry, alat ini juga dapat menyaring limbah dari warung atau restoran. Hasil kerja alat ini telah terbukti dapat menurunkan kadar BOD limbah cair dari 420 mg/l menjadi 60 mg/l, kadar COD dari 1.350 mg/l menjadi 210 mg/l, kadar TTS dari 455 mg/l menjadi 136 mg/l, kadar TDS dari 853 mg/l menjadi 643 mg/l, dan kadar zat deterjen dari 339,3250 mg/l menjadi 48,1900 mg/l, dll.
Sayangnya, biaya pengadaan alat filter deterjen ini terbilang cukup mahal. Untuk membuat satu buah alat, pemerintah harus merogoh biaya hingga lima juta rupiah. Alat ini pertama kali diproduksi pada Desember 2014 dengan menggunakan Dana Alokasi Khusus (DAK) Pemkot Yogyakarta tahun 2014. Ketika itu, BLH membuat sebanyak 20 alat untuk diberikan kepada pelaku usaha laundry. Namun, hingga saat ini belum ada kemajuan yang signifikan dalam penerapan alat filter deterjen di lapangan. Untuk mendapatkan alat ini juga masih tergolong cukup mahal jika dibebankan pada usaha laundry berskala kecil.
Masalah limbah laundry juga memperoleh perhatian dari para mahasiswa. Terdapat beberapa alat penetralisir kandungan limbah laundry yang berhasil dibuat oleh mahasiswa, salah satunya adalah Biococo Filter. Alat ini diciptakan oleh tiga mahasiswa Universitas Gadjah Mada bernama Amalia Hadiyanti, Trisia Suwastika dan M. Afi f Shulhan. Berbeda dengan alat yang diproduksi oleh BLH, penemuan ini difokuskan untuk mengurangi bau limbah laundry yang menyengat.
Biococo Filter mengolah limbah laundry dengan gabungan ilmu fisika, biologi, dan kimia. Pertama, limbah disaring dengan medium pasir yang bertekstur kasar hingga halus. Tujuannya agar kandungan padat yang terlarut dalam limbah berkurang. Selanjutnya, limbah diolah dengan menggunakan mikroba dalam bentuk biofilm. Untuk membantu proses tersebut ditambahkan alat aerasi pada reaktor biofilm. Limbah kemudian diolah secara kimia menggunakan media karbon aktif. Pengolahan Biococo Filter akan menghasilkan air buangan dengan kualitas fisik yang lebih jernih dan tidak berbau. Hal tersebut terjadi karena terdapat penurunan kandungan bahan kimia. Alat ini diklaim dapat menjadi alternatif pengolah limbah laundry yang efektif dan ekonomis. Walaupun demikian, Biococo Filter juga belum dipasarkan secara massal.
Alternatif alat pengolahan limbah lain berhasil diciptakan oleh mahasiswa Universitas Islam Indonesia. Mahasiswa UII tersebut menilai jika limbah laundry dapat mengakibatkan pendangkalan perairan dan penurunan kadar oksigen dalam air, yang berujung pada kematian organisme akuatik serta menurunnya estetika lingkungan karena bau dan busa laundry. Alat kreasi mahasiswa UII ini dapat dibuat sendiri oleh masyarakat dengan total biaya lima ratus ribu rupiah. Alat tersebut tersusun dari pipa-pipa penampung limbah, pompa air, dan komponen penyerap limbah yang disusun secara berlapis-lapis. Komponen penyerap terdiri dari serabut kelapa, pasir kering, arang aktif, dan kerikil yang diatur dengan perbandingan tertentu
Pencemaran lingkungan akibat limbah laundry semakin memperpanjang daftar permasalahan lingkungan yang terjadi di Jogjakarta. Jika disimpulkan, pemerintah perlu menegakkan peraturan terkait limbah yang telah disahkan sebelumnya. Selain itu, pemerintah juga perlu mencari solusi terbaik yang mampu mengakomodir usaha laundry berskala kecil. Proses adopsi teknologi yang berguna untuk menetralisir kandungan kimia dalam limbah perlu didorong oleh berbagai pihak. Akademisi, mahasiswa, komunitas, hingga pelaku usaha laundry itu sendiri dapat membantu mewujudkan Jogjakarta yang lebih baik. (chk)