Kreativitas tak lagi hanya disalurkan melalui media konvensional seperti kertas gambar atau kanvas lukis. Street art mengambil alih ruang publik untuk difungsikan sebagai sarana berkreasi. Street art merupakan cabang seni rupa yang memanfaatkan tembok jalanan, tiang listrik, kotak pos, gardu listrik, jembatan dan fasilitas publik lain sebagai sarana melukis. Terdapat beberapa jenis street art yang dapat kita temui di antaranya mural, graffiti, wheat paste, tape art, hingga stensil.
Namun, keberadaan street art tak lepas dari pro dan kontra. Pemanfaatan ruang publik tanpa izin membuat street art digolongkan sebagai bentuk vandalisme yang dapat mengotori, merusak, dan memperkumuh pemandangan kota. Di Yogyakarta, peraturan yang kerap digunakan untuk membatasi vandalisme adalah Perda Kota Yogyakarta No. 18 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Kebersihan. Dalam Pasal 16 disebutkan bahwa siapapun dilarang mengotori dan atau merusak pohon perindang, tanaman, bangunan dan fasilitas umum. Selain itu, untuk mempertegas penolakan terhadap vandalisme, Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti menggagas Forum Jogja Bersih Vandalisme pada Mei 2014 lalu.
Pemerintah perlu mengidentifikasi lebih lanjut mengenai apa yang sebenarnya digolongkan sebagai vandalisme. Di Yogyakarta street art berkembang dengan cukup pesat. Kita dapat dengan mudah menemui mural, graffiti, dan wheat paste di sudut-sudut kota. Tidak semua street art tersebut dibuat secara asal-asalan. Keberadaan street art dapat memberikan warna baru bagi Yogyakarta. Pemandangan kota justru lebih terganggu oleh keberadaan sampah-sampah visual seperti baliho maupun papan iklan komersil yang tidak diatur dengan baik.
Jika diberdayakan street art dapat memperindah wajah kota Yogyakarta. Dengan demikian street art dapat menjadi daya tarik khusus yang dapat dikembangkan di Kota Pariwisata ini. Upaya untuk memberdayaan street art sebagai sarana memperindah wajah kota telah dilakukan Washington DC, Amerika Serikat. Pemerintah Washington mengundang para street artist untuk berpartisipasi dalam lokakarya MuralsDC 2014. Setelah sepuluh minggu berlatih bersama, para street artist berkolaborasi menciptakan sebuah mural yang apik. Di Indonesia, upaya yang sama telah dilakukan oleh Kota Bogor pada tahun 2014. Pemerintah Kota Bogor mengadakan pameran mural dan graffiti di dinding underpass yang menghubungkan Kebun Raya dengan IPB. Acara tersebut diikuti oleh puluhan street artist dan komunitas graffiti. Selain itu, Pemkot Bogor juga memberikan kesempatan kepada lima belas street artist untuk menuangkan karyanya di tembok underpass. Karya-karya tersebut melukiskan ciri khas dan keadaan yang terjadi di Bogor. Melalui upaya tersebut, Pemkot Bogor mencoba memfasilitasi agar graffiti dan mural dapat memberikan manfaat seni dan estetis, bukan justru menimbulkan keonaran yang dapat merusak keindahan kota.
Street art muncul sebagai sebuah subkultur yang sebagian besar dilakukan oleh anak muda, “Orang cenderung melihatnya sebagai devian. Tapi kita juga bisa melihat apa yang sebenarnya diinginkan oleh anak muda ketika membuat graffiti atau street art lain. Dalam konteks sejarah, sebetulnya graffiti hampir mirip dengan budaya punk. Apa yang dilakukan adalah sebuah bentuk ekspresi diri anak muda yang ingin melakukan perlawanan karena tidak diberi ruang oleh kultur dominan,” terang Ratna Noviani Ph.D, Dosen Kajian Budaya dan Media Sekolah Pascasarjana UGM. “Ketika fasilitas publik dijarah sebagai ruang ekspresi, maka kita perlu mempertanyakan keberadaan fasilitas yang disediakan untuk bebas membuat graffiti,” tambahnya.
Keberadaan street art biasanya memuat pesan-pesan tertentu baik implisit maupun eksplisit. Street art juga menjadi alat kritik terhadap kinerja pemerintah atau masalah sosial yang sedang terjadi. Di Yogyakarta, kita dapat mengamati jenis street art ini digalakkan oleh Anti Tank. Anti Tank adalah project dari Andrew Lumban Gaol, seorang mahasiswa DKV Modern School of Design, yang telah dilakukan sejak tahun 2008. Anti Tank menempelkan poster-poster yang menyuarakan ketidakadilan, kesenjangan sosial, korupsi, diskriminasi, atau penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah sosial di tembok-tembok pinggir jalan. Dengan demikian, masyarakat yang melihat poster tersebut diharapkan dapat turut menyadari dan merespon isu tersebut.
Sebagai pagelaran seni yang merangkul berbagai macam cabang kesenian, street art akan turut menjadi bagian dalam Jogja ArtWeeks 2015 (JAW-2015). JAW-2015 akan menghadirkan karya Ahmad Nur Wijaya, seorang bomber atau graffiti artist yang telah aktif berkarya dalam Komunitas Graffiti Paint Phobia Crew (P2C) sejak tahun 2012. Dalam JAW-2015, karya yang akan ia suguhkan berusaha memadukan graffiti sebagai budaya urban yang dapat mengangkat kultur lokal.
Ahmad berpendapat telah ada pergeseran pandangan mengenai graffiti. Pada awalnya fungsi graffiti adalah sebagai alat penanda eksistensi sebuah kelompok atau pribadi. Hal tersebut menimbulkan citra bahwa graffiti adalah bagian dari vandalisme, bukan sebuah bentuk karya seni yang dapat dinikmati. Di masa sekarang graffiti mulai mengalami perkembangan ke arah yang lebih positif. Ahmad menilai graffiti di Yogyakarta semakin menjamur dan bertumbuh subur. Namun, keaktifan pelaku graffiti sering kali tidak dapat dibendung sehingga mengakibatkan ruang publik semakin padat dengan graffiti. “Ketika karya itu bisa diterima oleh publik, tidak menjadi masalah. Tetapi ketika graffiti itu tidak lagi memperhatikan etika dan budaya sekitar maka masyarakat akan mellihatnya sebagai pengaruh yang buruk. Bukankah budaya perlu dijaga agar bangsa kita menjadi bangsa yang hebat dan berkarakter,” jelasnya.
Karya graffiti dari Ahmad Nur Wijaya dapat dinikmati secara langsung pada showcase Jogja ArtWeeks yang akan digelar pada 9-27 Juni 2015 di Gedung PPKH UGM. Namun, masyarakat dapat memantau proses kreatif yang dilakukan Ahmad Nur Wijaya dan 45 aplikan JAW-2015 yang lain melalui Twitter @JogArtWeeks, Facebook Jogja ArtWeeks, atau website jogartjournal.net. Jogja ArtWeeks sendiri sebuah perhelatan kesenian baru yang diselenggarakan oleh Yayasan Gaia bekerjasama dengan ART|JOG. Pada tahun pertamanya, JAW-2015 mengusung tema Embrace! Past & Future At Present dan mengedepankan semangat keterbukaan.