Gempa bumi telah menjadi ancaman langganan dalam kehidupan masyarakat Bantul, Yogyakarta, dan sekitarnya. Walaupun demikian, tak lantas kemunculan gempa hanya sekedar angin lalu. Bagi mereka, gempa tetap menjadi bayang-bayang dalam kenyamanan hidup. Pemerintah, LSM, dan masyarakat terus bahu-membahu merancang langkah-langkah preventif dan represif gempa.
Informasi mengenai gempa yang diterima masyarakat Bantul, Yogyakarta melalui pesan berantai dan media sosial pada Rabu (3/6) terbukti tidak benar. Hal ini dapat dipastikan setelah Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bantul mengklarifikasi berita menghebohkan ini. Salah satu warga Bantul yang menerima pesan berantai tersebut adalah Lucky Lukmanul Hakim (20). Ia mengaku sempat dibuat panik oleh pesan yang didapatkannya melalui WhatsApp. Selepas membaca, Lucky segera keluar dari rumahnya untuk mengecek keadaan sekitar, “Pertama saya tidak percaya, soalnya sebelum kejadian itu sudah ada gempa kecil. Biasanya kalau sudah ada gempa kecil, tidak akan ada gempa besar,” ujarnya.
Efek pesan berantai yang menimbulkan masyarakat panik dibenarkan oleh Immanuel Radityo, peneliti dari Divisi Kebencanaan Center of Public Mental Health (CPMH) Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Radityo menyimpulkan bahwa informasi yang disampaikan melalui pesan berantai dan media sosial akan menyebar dengan sangat cepat. Menurutnya, kepanikan masyarakat wajar terjadi dalam kondisi demikian, “Kesimpulan yang ditarik masyarakat dari pesan menunjukkan gejala yang sama dengan gempa di tahun 2006. Oleh sebab itu, masyarakat menjadi panik. Timbul prasangka atau pikiran akan terjadi hal sama”, terang Radityo.