Tanggal 22 Desember pada awalnya bukan diperingati sebagai Hari Ibu Nasional. Hari tersebut menjadi istimewa karena tepat pada 22 Desember 1928 Kongres Perempuan Indonesia mengadakan pertemuan untuk pertama kalinya. Tiga puluh organisasi perempuan dari dua belas kota di Indonesia mengirimkan perwakilannya untuk membahas upaya perbaikan derajat dan kedudukan perempuan. Adapun organisasi yang turut berpartisipasi di antaranya adalah Putri Indonesia, Wanito Tomo, Wanito Muljo, Wanita Katolik, Aisjiah, Ina Tuni Ambon, Jong Islamieten Bond bagian Wanita, Jong Java Meisjeskring, Poetri Boedi Sedjati, Poetri Mardika dan Wanita Taman Siswa. Kongres tersebut diketuai oleh istri Bapak Pendidikan Indonesia, Nyi Hajar Dewantara, yang berasal dari organisasi Wanita Taman Siswa. Sejumlah nama tokoh perempuan lain yang tercatat dalam Kongres Perempuan I di antaranya adalah Ismoediati, RA Hardjadiningrat, Soejatien, Ny. Soekonto, dll.
Bertempat di Yogyakarta, mereka berpendapat bahwa perempuan Indonesia harus menyumbang andil dalam perjuangan kemerdekaan serta pembangunan bangsa. Pertemuan tersebut juga membahas masalah perbaikan gizi dan kesehatan bagi ibu dan balita, pernikahan usia dini, serta perdagangan anak dan perempuan. Hasil Kongres Perempuan Indonesia I dirumuskan ke dalam empat poin, yaitu 1) mengirimkan mosi kepada pemerintah kolonial untuk menambah sekolah bagi anak perempuan, 2) pemerintah wajib memberikan surat keterangan pernikahan dengan segera, 3) memberikan beasiswa bagi siswa perempuan yang memiliki kemampuan belajar tetapi tidak memiliki biaya pendidikan, 4) mendirikan lembaga yang memberikan kursus pemberatasan buta huruf dan kesehatan serta mengaktifkan usaha pemberantasan perkawinan anak. Perlu diingat bahwa kongres secara resmi mengakui kekuasaan pemerintah kolonial. Hal ini dilakukan agar pergerakan tersebut tidak dianggap radikal serta memudahkan penyebarluasan gagasan kepada masyarakat umum, kelas menengah, para bangsawan serta pemerintah kolonial.
Pelaksanaan Kongres Perempuan Indonesia terus diadakan secara berkala. Pada kongres ketiga yang diadakan di Bandung pada 1938, tanggal 22 Desember sepakat ditetapkan sebagai Hari Ibu. Makna penetapan Hari Ibu mengacu pada hasil kongres sebelumnya yang menyebutkan bahwa perempuan Indonesia harus sadar bahwa mereka memiliki kewajiban untuk menjadi “Ibu Bangsa”. Kongres Perempuan Indonesia III juga menghasilkan keputusan yang sangat signifikan yaitu menuntut partisipasi serta hak pilih bagi perempuan dalam bidang politik. Pemerintah kolonial merespon tuntutan hasil kongres tersebut dengan menempatkan empat perempuan: Ny. Emma Puradiredja, Ny. Sukaptinah Sunarjo Mangunpuspito, Ny. Sudirman, dan Umiyati untuk duduk di Dewan Kota atau Gemeenteraad.
Dua puluh satu tahun setelah Kongres Perempuan Indonesia III, Presiden Soekarno menetapkan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu Nasional. Keputusan tersebut secara resmi tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 316 Tahun 1959 tentang Hari-Hari Nasional yang bukan Hari Libur. Hari Ibu dimaksudkan untuk mengenang semangat perempuan Indonesia dalam memperjuangkan hak sosial dan politik perempuan Indonesia serta perbaikan kualitas bangsa secara umum. Namun kini Hari Ibu lebih dimaknai secara spesifik untuk mengungkapkan rasa sayang kepada para ibu. Memang tidak ada yang salah dengan hal tersebut, namun jangan lupa juga ya untuk mengenang jasa perempuan-perempuan Indonesia yang telah memperjuangkan hak perempuan di seluruh Indonesia! (chk)