Menikmati Derita Si Miskin (Tinjauan Komodifikasi Kemiskinan dalam Layar Kaca)

Pada tahun 1962 Jurgen Habermas mencetuskan istilah ruang publik untuk pertama kalinya. Melalui buku The Structural Transformation of The Public Sphere, ia menjabarkan bahwa ruang publik adalah ruang yang mampu memediasi masyarakat dan negara[1]. Ruang publik sebagai lokus partisipasi masyarakat memfasilitasi terbentuknya opini publik melalui proses interaksi dan komunikasi sosial[2]. Namun, ruang publik yang dimaksud oleh Habermas berbeda dengan istilah public space yang selama ini kita kenal. Ia menawarkan konsep public sphere, sebuah ruang publik yang tidak hadir secara fisik namun mampu mengakomodasi masyarakat untuk saling bertukar pendapat. Public sphere kerap diidentikkan dengan media massa. Hal ini terjadi mengingat media massa memiliki kekuatan untuk merangkul khalayak secara startegis serta mampu mendorong terbentuknya opini publik.

Media massa sebagai ruang publik tengah diancam oleh sejumlah permasalahan. Menurut McKee, setidaknya ada lima masalah terkait ruang publik yaitu trivialisasi, komersialisasi, spectacle, fragmentasi, dan apati[3]. Trivialisasi diindikasikan dengan laju informasi dan pesan komunikasi yang terkesan sepele atau tidak penting. Komersialisasi dapat diamati dari penyesuaian konten media dengan keinginan khalayak sehingga semata-mata bersifat profit eriented. Sementara itu,spectacle dicirikan dengan ketidakmampuan masyarakat menyikapi informasi dalam konteks riil. Dapat dikatakan bahwa masyarakat hanya menjadi pengamat pasif. Fragmentasi berarti perpecahan yang mengakibatkan hilangnya pertukaran pendapat dalam ruang publik. Sementara apati dicirikan dengan nihilnya kepedulian masyarakat terhadap isu-isu yang bergulir dalam ruang publik. Ketika lima masalah ini semakin jenuh, maka dapat dipastikan ruang publik hanya menjadi sebuah konsep yang utopis.

Continue reading

Menonton Kehidupan Selebriti Sebagai Hiburan (Tinjauan Web Series “Anak Artis: The New Royalty” dalam akun YouTube KapanLagi.Com)

Televisi Tak Lagi Menjadi Satu-Satunya Sumber Kebutuhan Akan Hiburan

Hiburan merupakan kebutuhan yang tak dapat disangkal. Manusia membutuhkan hiburan untuk melupakan sejenak permasalahan-permasalahan yang sedang dihadapi. Terdapat beragam cara dan fasilitas yang dapat digunakan untuk memperoleh hiburan. Salah satu sumber yang dapat dimanfaatkan adalah media. Terkait dengan pemenuhan kebutuhan akan hiburan, media memiliki fungsi diversion. Media menawarkan tiga hal: stimulation atau pencarian untuk mengurangi rasa bosan, relaxation atau pelarian dari tekanan dan kegiatan rutin, serta emotional release atau pelepasan emosi dari perasaan dan energi yang terpendam.

Hiburan yang ditawarkan oleh media dapat dijangkau melalui kehadiran televisi, radio, internet, surat kabar, tabloid dan majalah. Dari sejumlah pilihan tersebut, televisi masih menjadi media yang memiliki tingkat popularitas tinggi dalam masyarakat. Hasil riset yang dilakukan oleh AGB Nielsen pada Mei 2014 menyatakan bahwa televisi masih menjadi medium utama yang dikonsumsi oleh 95% masyarakat Indonesia. Tingkat penetrasi yang besar membuat televisi memiliki perhatian yang tinggi dalam menyajikan konten-konten hiburan seperti musik, film, olahraga, sinetron, infotainment, kuis, dll.

Di lain sisi, program-program hiburan yang ditawarkan oleh televisi mulai mengalami kejenuhan. Konten hiburan televisi Indonesia didominasi oleh program musik, infotainment, FTV (film televisi), reality show, sinetron, dan variety show. Sebagian besar program-program tersebut dinilai tidak memiliki kualitas yang baik dan hanya dibuat untuk mengejar rating. Oleh sebab itu, kehadiran internet memberikan alternatif  bagi masyarakat untuk memperoleh hiburan baru. Jika dibandingkan dengan televisi, internet memiliki karakter yang lebih interaktif. Pengakses secara aktif dapat memperoleh konten apapun yang menjadi keinginannya.

Continue reading

Belajar Berbuah Prestasi, Prestasi Berbuah Magang

Ketertarikan Anindita Lintang Pakuningjati pada dunia periklanan membuatnya merasa tertantang untuk belajar dan mendalami bidang ini secara lebih serius. Sejak tahun 2012, mahasiswa Ilmu Komunikasi 2011 ini aktif mengikuti berbagai kompetisi iklan bergengsi di Indonesia. Lintang telah berhasil memboyong sejumlah prestasi di antaranya Gold Medal BG Award Citra Pariwara 2013, Gold Medal TVC Internet Baskara Category dan Silver Medal Young Film Director Pinasthika Advertising Festival 2013, Gold Medal PSA Radio-ad Baskara Category Pinasthika Advertising Festival 2014, serta Silver Medal Integrated Campaign Caraka Advertising Festival 2014. Selain itu, Lintang juga pernah menjadi delegasi pada ADFEST Asia Pasific 2014.

Continue reading

Menilik Makna dan Perkembangan Subkultur Punk

Subkultur dan Anak Muda

Subkultur merupakan konsep yang abstrak, dinamis, serta bersifat konstitutif bagi objek studinya (Barker, 2009:341). Dick Hebdige memberikan pengertian bahwa subkultur adalah sebuah kebudayaan yang berada di dalam kebudayaan lain. Kebudayaan tersebut dibentuk oleh sekelompok masyarakat yang mempunyai kesamaan nilai, norma, cara berpikir, serta karakteristik yang berbeda dari kultur dominan. Di sisi lain, Barker mengartikan subkultur sebagai cara hidup atau peta makna yang dipahami oleh anggota kelompok tertentu. Kata ‘sub’ mengandung pengertian bahwa kebudayaan yang ada dalam kelompok tersebut berbeda dengan budaya mainstream.

Secara sederhana, subkultur dapat diartikan sebagai bentuk perlawanan terhadap budaya dominan. Menurut Brake (dalam Barker, 2009:343), terdapat lima fungsi yang dapat dimainkan subkultur bagi para anggotanya, yaitu:

  1. Menyediakan suatu solusi ajaib atas berbagai masalah sosial-ekonomi dan struktural
  2. Menawarkan suatu bentuk identitas kolektif yang berbeda dari sekolah dan kerja
  3. Memperoleh suatu ruang bagi pengalaman dan gambaran alternatif realitas sosial
  4. Menyediakan berbagai aktivitas hiburan bermakna yang bertentangan dengan sekolah dan kerja
  5. Melengkapi solusi bagi dilema identitas eksistensial.

Continue reading

Pembangunan Apartemen Uttara Pecah Belah Warga Karangwuni

Dua spanduk yang kontradiktif terpasang di depan Gang Kelapa Gading Jl Kaliurang Km 5,3.

Warga Karangwuni, Sleman, Jogjakarta tidak dapat berhenti resah karena pembangunan Apartemen Uttara tetap berjalan. Warga yang tergabung dalam Paguyuban Warga Karangwuni Tolak Apartemen Uttara (PWKTAU) telah menyuarakan penolakan sejak awal tahun 2014. Namun, hal tersebut tak diindahkan oleh PT Bumi Alam Permata selaku pengembang Uttara. Akibatnya, proyek pembangunan yang tengah berlangsung sangat mengusik dan merugikan warga sekitar. Di lain sisi, sekelompok warga yang menamakan dirinya Paguyuban Warga Karangwuni Peduli Perubahan (PWKPP) menyuarakan hal yang berbeda. Mereka mendukung pembangunan Uttara karena dinilai akan memberikan pengaruh positif bagi warga sekitar.

Adiono selaku pengurus PWKTAU menilai bahwa Uttara telah banyak melakukan pelanggaran. “Di undangan sosialisasi pertama, mereka bilang hanya akan mendirikan indekos eksklusif. Warga Karangwuni yang diundang waktu itu pun bisa dihitung jari. Kemudian tiba-tiba daftar kehadiran sosialisasi dilampirkan menjadi daftar persetujuan. Proses pembuatan berita acara pun tidak melibatkan warga, padahal dalam berita acara ada poin yang menyebutkan bahwa warga Karangwuni tidak keberatan dengan pembangunan Uttara,” terangnya. PWKTAU juga menyayangkan penandatanganan berita acara secara sepihak oleh Dukuh Karangwuni. Dikonfirmasi mengenai hal tersebut, Sarwiyono, Dukuh Karangwuni berujar, “Ya masa tanah dibeli kok tidak boleh dibangun. Kita kan tidak bisa apa-apa. Kenapa juga tidak datang sosialisasi? Kalau begini, sekarang yang salah siapa?”.

Continue reading