Menelisik “Modern Times”

Modern Times, menurut saya, adalah sebuah film yang wajib untuk ditonton. Film yang rilis pada tahun 1936 ini tak hanya menawarkan akting Charlie Chaplin yang kocak dan menghibur, namun juga memuat nilai-nilai esensial yang mewakili kehidupan pada dunia nyata. Secara tidak sadar, kita dihadapkan pada isu-isu penting yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat pada masa itu. Salah satu sorotan yang intens digambarkan pada film ini adalah mengenai kehidupan masyarakat kelas bawah dan juga buruh.

Tokoh utama Modern Times, Little Tramp dan juga Gamine The Girl dikisahkan sebagai seseorang yang kurang beruntung. Little Tramp begitu miskin, bodoh, sering ditimpa kesialan serta tidak mempunyai keterampilan kerja yang memadai. Hal tersebut membuatnya seringkali harus berganti-ganti pekerjaan dalam waktu singkat. Di lain sisi, Gamine dikisahkan sebagai seorang tunawisma yang ayahnya terbunuh pada sebuah demonstrasi buruh. Kedua sosok tersebut akhirnya berteman dan bersama-sama gigih mencari sumber pendapatan yang, pada masa itu, amat langka.

Continue reading

Ada Representasi Gender dalam Games

Menuntaskan jurnal berjudul Gender in Gamer Culture and the Virtual World memberikan insight yang menarik, bahwa ranah gem adalah bidang yang berhak dan layak untuk dieksplorasi lebih lanjut melalui kacamata disiplin ilmu komunikasi. Benang merah dari tulisan  Nicholas Maisonave ini berusaha memaparkan representsi gender dalam gem serta bagaimana fakta-fakta lain berkolaborasi membentuk sebuah cerminan budaya yang lahir dari dunia virtual.

Gender merupakan isu yang menarik untuk ditelaah. Perbincangan gender adalah salah satu topik populer dalam disiplin ilmu sosial dan humaniora. Namun, mengaji isu gender dalam dunia gem terbilang hal yang baru, bahkan mungkin seringkali tak terpikirkan bagi masyarakat awam (mungkin karena anggapan gem hanyalah hal remeh untuk menghibur / mengisi waktu luang). Meskipun bukan pelopor dalam membahas topik ini, usaha Maisonave dalam memaparkan topik ini patut diapresiasi.

Continue reading

Humans of New York, Humans of World

Pernahkah kita duduk di tengah keramaian, memandangi orang-orang  yang berlalu lalang dan membayangkan bagaimanakah hidup mereka, apa ambisi mereka, atau apa yang mereka rasakan? Di belahan dunia yang lain, tepatnya nun jauh di New York sana, seseorang (bernama Brandon) berinisiatif untuk melakukan sebuah proyek. Lebih dari sekedar melamun dan mengamati orang-orang di sekitarnya, setiap hari ia menjelajah sudut-sudut kota New York, menyapa dan berbincang dengan penduduk kota tersebut untuk menanyakan beberapa kisah hidup lawan bicaranya.

Menurut saya, Human of New York merupakan sebuah proyek yang menarik, mereka mampu menyampaikan sisi humanis manusia dengan manis. Di balik langkah manula menyisir trotoar, di balik tawa sepasang sahabat yang sedang piknik di taman, ataupun di balik lamunan wanita yang sedang mengantri segelas Starbucks, di balik semua wajah manusia-manusia modern tersebut, mereka mengalami berbagai macam peristiwa, yang membuat mereka tetap menyandang predikat sebagai ‘manusia biasa’.

Continue reading

Gerilya Di Tengah Jalan Buntu (Sebuah Review Film Kuldesak)

Producer, Director & Scriptwriter : Riri Riza, Rizal Mantovani, Nan T. Achnas, Mira Lesmana | Pemain Utama :  Wong Aksan, Bianca Adnegoro, Oppie Andaresta, Ryan Hidayat | Production Company  : Day For Night Film | Photographer  : Nur Hidayat | Cinematogrhapy  : Yadi Sugadi | Editor : Sentot Sahid, Rizal Mantovani | Production Design : Frans X.R Paat, Rizal Mantovani | Sound Design  : Adi Molana | Music : Ahmad Dhani, Andra Ramadhan, Thoersi Argeswara | Durasi  : 110 menit

Merintis Kuldesak Dalam Kebuntuan Orde Baru           

Jika ingin mendapatkan suguhan menarik mengenai film independen Indonesia di awal kebangkitannya, maka Kuldesak adalah jawaban. Namun sebelum membahas mengenai jalan cerita Kuldesak, terlebih dahulu kita perlu mencermati apa yang dimaksud dengan genre film independen. Pada awalnya, produksi film independen muncul di Amerika Serikat, tumbuh sebagai sebuah gerakan yang digagas untuk menandingi monopoli studio mainstream Holywood yang merajai kala itu seperti Warner Bros, 20th Century Fox, Paramount, Metro Goldwyn Mayer, dan RKO Pictures. Tonggak perjuangan film independen dimulai pada tahun 1941 dengan terbentuknya Society of Independent Motion Picture Producers (SIMPP), gabungan sineas dan produser-produser film berpengaruh tersebut memperjuangkan hak-hak mereka yang terpinggirkan karena sistem studio. Perjuangan SIMPP ini berhasil tujuh tahun kemudian, ketika pengadilan tinggi di Amerika mengabulkan tuntutan mereka mengenai penghentian praktik monopoli sistem studio.

Geliat film independen di Indonesia dapat dikatakan terlambat kemunculannya jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Selain itu pengertian genre film independen di negara ini juga berbeda dengan apa yang telah penulis jelaskan sebelumnya. Film independen diartikan sebagai gagasan dan model bagi kaum-kaum muda dalam berkreasi untuk membuat film dengan usaha mereka sendiri. Perkembangan film independen di Indonesia ditandai dengan berdirinya Mafin (Makhluk Film Independen). Komunitas ini mendistribusikan film-film independen dengan mengadakan acara pameran, festival, forum serta pertemuan rutin (Heeren, 2012:53). Rintisan film independen Indonesia yang berhasil mendapat banyak sorotan adalah Kuldesak (bahasa Perancis, ‘Cul-de-sac’ berarti jalan buntu). Film ini merupakan karya yang dihasilkan oleh empat produser dan sutradara cemerlang; Mira Lesmana, Riri Riza, Rizal Mantovani dan Nan T. Achnas. Kuldesak adalah film berformat omnibus pertama di Indonesia yang menampilkan empat cerita berbeda yang tergabung dalam satu benang merah.

Continue reading

Bandung berawal dari percakapan bodoh dengan Mas Bill

Aku          : He kon gak ngeke’i aku kado ulangtahun ta?

Mas Bill  : Yowes jare nang Bandung?

Aku         : Yo ambek sing lain ta, sepatu ta, tas kek.

Mas Bill : Yowes nang Bandung ta tas? Pilihen.

Aku        : Lhe mayak pek, mosok pilihane nang Bandung ta tas, gak adil lah. Nang Bandung ta nang Jakarta iku baru nyambung, mosok nang Bandung ta tas.

Mas Bill : Yo karepku lah :)))

Continue reading