Kebangkitan Nasional Tidak Sekedar Seremonial

Kebangkitan Nasional memasuki tahun ke-107 pada 20 Mei 2015 yang lalu. Layaknya momentum hari bersejarah, Kebangkitan Nasional dirayakan di berbagai daerah dengan berbagai acara peringatan. Mulai dari pengobatan gratis, seruan moral, upacara di instansi pemerintah, hingga demonstrasi mahasiswa. Telah menjadi semacam kelaziman di Indonesia jika hari bersejarah (setidaknya) harus diperingati secara seremonial.

Seratus tujuh tahun yang lalu, sebuah organisasi bernama Budi Utomo diprakarsai dan didirikan oleh Dr. Wahidin Soedirohoesodo serta seorang pelajar STOVIA bernama Dr. Soetomo. Budi Utomo merupakan sebuah organisasi modern pertama dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Berkat kehadiran Budi Utomo, perjuangan Indonesia mengalami perubahan yang cukup signifikan. Perjuangan tidak lagi bersifat kedaerahan karena rasa persatuan dan kebangsaan mulai tumbuh. Perlawanan tidak hanya mengandalkan kekuatan fisik tetapi juga dilakukan dengan diplomasi oleh organisasi-organisasi yang dipimpin kaum intelektual bangsa. Oleh sebab itulah tanggal berdirinya Budi Utomo kemudian diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

Berkat momentum Kebangkitan Nasional tersebut, bangsa Indonesia semakin sadar untuk mewujudkan Indonesia menjadi sebuah negara yang merdeka. Organisasi-organisasi yang tersebar dari Sabang hingga Merauke memiliki tujuan yang satu yaitu memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Kebangkitan Nasional benar-benar dimaknai sebagai sebuah proses untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan yang telah memecah belah bangsa Indonesia. Lalu, pernahkah kita berpikir apakah Indonesia akan tetap merdeka tanpa adanya momen Kebangkitan Nasional?

Kemerdekaan tidak menjadi hasil akhir dari Kebangkitan Nasional. Selepas Soekarno Hatta –yang mengatasnamakan dirinya sebagai bangsa Indonesia– memproklamasikan kemerdekaan, bangsa kita masih menghadapi serentetan ancaman. Perjuangan meraih kemerdekaan Indonesia berganti menjadi perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan. Kemerdekaan Indonesia digoyahkan dari dalam maupun luar, sebagai contoh kita mengenal peristiwa Pertempuran Lima Hari di Semarang, Puputan Margarana di Bali, Peristiwa Merah Putih di Manado, Pemberontakan DI/TII di Aceh dan sebagainya. Para pemimpin bangsa ketika itu juga melakukan berbagai diplomasi dan perundingan agar kemerdekaan Indonesia mendapatkan pengakuan dari dunia internasional.

Dua puluh satu tahun setelah merdeka, Indonesia resmi dipimpin oleh Presiden Soeharto selama tiga puluh dua tahun kemudian. Di bawah pemerintahannya, pembangunan nasional digalakkan melalui program Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Namun, kemajuan yang dituai harus dibayar dengan kemerdekaan bangsa yang (kembali) terkungkung. Kebebasan untuk berpendapat, berekspresi, atau berorganisasi menjadi hal yang langka bagi warga negara Indonesia saat itu. Pelanggaran hak asasi manusia pun menjadi isu sehari-hari di bawah pemerintahan tirani Soeharto.

Semangat Kebangkitan Nasional kembali diuji. Krisis ekonomi, sosial, dan politik mencapai puncaknya pada Mei 1998. Melihat keadaan Indonesia yang semakin terpuruk, mahasiswa Indonesia berinisiatif menyerukan perubahan dan menuntut Presiden Soeharto lengser dari jabatannya. Mahasiswa dari berbagai penjuru Indonesia berdatangan ke Jakarta untuk terus mendesak pemerintahan Soeharto. Bulan Mei 1998 turut diwarnai dengan peristiwa penembakan empat mahasiswa Universitas Trisakti yang akhirnya memicu kerusuhan hebat. Sebagai puncaknya, pada tanggal 19 Mei 1998 ribuan mahasiswa melakukan demonstrasi besar-besaran dan menduduki Gedung DPR/MPR. Perjuangan mahasiswa tersebut akhirnya berbuah pernyataan pengunduran diri Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998, sehari setelah Hari Kebangkitan Nasional ke-90 diperingati.

Tahun ini, Kebangkitan Nasional diperingati dengan berbagai macam cara. Umumnya, instansi pemerintah menggelar upacara yang diisi dengan pidato bertema Kebangkitan Nasional. Salah satu upacara yang menyita perhatian masyarakat diadakan di Lapas Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Umar Patek, terpidana kasus Bom Bali, bertindak sebagai salah satu petugas pengibar bendera. Baginya, turut serta dalam upacara peringatan Hari Kebangkitan Nasional adalah salah satu wujud kecintaan kepada negara. Selain itu, pemerintah juga membentuk Panitia Hari Kebangkitan Nasional untuk memperingati hari bersejarah ini. Seperti yang dilansir dalam situs kebangkitan-nasional.or.id, Panitia Hari Kebangkitan Nasional menggelar berbagai rangkaian acara di antaranya pengobatan gratis, ziarah ke TMP Kalibata, donor darah, senam kesehatan jasmani, minum jamu bersama, lokakarya hingga seminar nasional.

Masyarakat juga merayakan Hari Kebangkitan Nasional ke-107 dengan sejumlah acara kreatif. Contohnya seperti yang dilakukan oleh komunitas pecinta batu akik di Grobogan, Jawa Tengah. Mereka mengadakan pameran akik dengan tujuan menumbuhkan rasa bangga dan cinta terhadap sumber daya alam Indonesia. Hari Kebangkitan Nasional tak hanya dirayakan di dunia nyata, masyarakat Indonesia juga meramaikan dunia maya. Kicauan netizen dengan tagar #20Mei dan #HariKebangkitanNasional sukses mewarnai trendic topic media sosial Twitter. Hutomo Mandala Putra atau yang lebih dikenal dengan Tommy Soeharto juga ikut meramaikan perayaan Hari Kebangkitan Nasional via akun Twitternya @HutomoMP_9. Sungguh unik Kebangkitan Nasional dimaknai pada era modern ini.

Lalu bagaimana cara mahasiswa zaman sekarang memaknai Hari Kebangkitan Nasional? Jawaban pun masih dapat ditebak dengan mudah: aksi demonstrasi. Merayakan Hari Kebangkitan Nasional, mahasiswa turun ke jalanan Ibukota untuk menyuarakan tuntutan kepada Pemerintahan Jokowi. Sebelumnya, geliat perjuangan mahasiswa kerap dipertanyakan oleh masyarakat. Mahasiswa dinilai tidak lagi peka terhadap nasib rakyat kecil yang terkena dampak langsung dari kebijakan Jokowi di masa awal pemerintahannya. Ketika mahasiswa akhirnya menyerukan aksi demonstrasi pada tanggal 20 dan 21 Mei 2015, hal ini langsung menjadi sorotan media massa. Tidak sedikit media massa yang membingkai aksi mahasiswa ini sebagai usaha pelengseran Jokowi. Publik terus-menerus diingatkan dengan aksi demonstrasi Mei 1998 ketika mahasiswa begitu berdaya menggulingkan pemerintahan. Pemerintah pun siap siaga mengerahkan delapn ribu aparat keamanan untuk menjamin ketertiban dan keamanan Ibukota.

Lantas apa agenda utama yang diusung mahasiswa dalam aksinya? Masih berupaya membawa semangat Kebangkitan Nasional, mahasiswa dan presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) yang tergabung dalam BEM Seluruh Indonesia (BEM SI) menyampaikan tiga tuntutan. Pertama, mereka mendesak pemerintah mencabut kebijakan harga BBM dari mekanisme pasar bebas dan mengembalikan subsidi BBM seperti semula. Kedua, BEM SI menuntut pemerintah untuk sepenuhnya mengambil alih aset Blok Mahakam dan Freeport agar dapat dikelola Indonesia secara mandiri. Ketiga, mereka juga mendesak agar Presiden Jokowi hadir dalam dialog terbuka bersama para mahasiswa.

Aksi pada tanggal 21 Mei 2015 tersebut berbuah janji yang manis. Berdasarkan rilis[1] yang dimuat oleh BEM SI, mereka menyatakan perwakilan BEM SI diterima oleh Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Sekertaris Kabinet Andi Widjajanto, Menteri Bappenas Andrinof Chaniago, Kepala Staf Kepresidenan Luhut Pandjaitan dan Staf Khusus Sekretaris Kabinet Teten Masduki. Melalui proses audiensi yang alot, kedua pihak menyepakati bahwa Presiden Jokowi akan berdialog secara terbuka dengan mahasiswa pada Senin, 25 Mei 2015. Dialog tersebut akan ditayangkan secara langsung di seluruh channel televisi nasional. Namun janji manis yang telah disepakati sberbuah pahit. Rilis terakhir[2] yang dimuat oleh BEM SI menyatakan dialog antara mahasiswa dan Presiden Jokowi yang rencananya digelar pada 25 Mei tersebut dibatalkan secara sepihak.

Terlepas dari segala hal yang melatarbelakangi perayaan Hari Kebangkitan Nasional, sepertinya momentum ini masih cukup penting untuk diperingati setiap tahun. Kebangkitan Nasional dapat menjadi wadah untuk merefleksikan keadaan bangsa, mengevaluasi program-program yang telah dijalankan pemerintah, serta mengingatkan bahwa masih banyak hal yang harus dibenahi. Namun peringatan Hari Kebangkitan Nasional seharusnya tidak hanya terbatas pada aksi seremonial atau upacara belaka. Tujuan besar yang diimpikan tentunya tidak dapat diraih begitu saja tanpa usaha yang setimpal.

Mewujudkan Kebangkitan Nasional yang hakiki tidak hanya menjadi kewajiban pemerintah saja, masyarakat juga wajib memberikan kontribusi dengan kemampuan yang dimiliki masing-masing. Dengan demikian, diharapkan Kebangkitan Nasional menjadi semangat sehari-hari bangsa Indonesia untuk mewujudkan Indonesia yang damai dan sejahtera. Tak sekedar bangkit, namun mampu berdiri tegak di atas kaki sendiri.

Jadi, siapkah kita bangkit?

 

Referensi

[1] Pers Rilis “Aksi BEM SI 21 Mei 2015”. Diakses pada http://bem-indonesia.com/aksi-bem-si-21-mei-2015/tanggal 26 Mei 2015.

[2] Pers Rilis “Lagi-Lagi Pihak Istana ‘Jokowi’ Berbohong”. Diakses pada http://bem-indonesia.com/lagi-lagi-pihak-istana-jokowi-berbohong/ pada tanggal 26 Mei 2015.

Leave a Reply