Aktivis dan keluarga korban pelanggaran HAM masih belum mendapatkan apa yang mereka perjuangkan. Pemerintah perlu membuka telinga.
Pada 11 Juni 2015, Aksi Kamisan memasuki penyelenggaraan ke-400. Digagas pada 9 Januari 2007 oleh Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK), sebuah paguyuban korban/keluarga korban pelanggaran HAM, Aksi Kamisan merupakan sebuah pergerakan model baru. Tak perlu lantang berteriak dan berpeluh melawan panas, Aksi Kamisan mendeklarasikan dirinya sebagai Aksi Diam. Tertanggal 19 Januari 2007, Aksi Kamisan mulai digelar rutin setiap Kamis di depan Istana Merdeka, Jakarta. Peserta Aksi Kamisan mengenakan pakaian dan payung bewarna hitam lengkap dengan tuntutan yang dituliskan melalui poster dan surat terbuka. Selanjutnya mereka hanya diam tak bergeming di depan jemawa Istana Negara, menjaga nyala lilin harapan meskipun masih terabai dari perhatian sang penguasa.
Penegakan hukum pada pelanggaran HAM masih loyo. Utamanya jika menyangkut kisah-kisah masa lalu yang diwarnai oleh pejabat-pejabat tinggi negeri ini. Nampaknya pemerintah terlalu sibuk bersembunyi di balik berkas-berkas pekerjaan masa sekarang dan masa yang akan datang. Aksi Kamisan mengetuk kembali Pemerintah dengan membawakan buah tangan kasus pelanggaran HAM yang tak juga boleh dilupakan. Kasus-kasus seperti Tragedi ’65, Pembunuhan Marsinah, Tragedi Trisakti, Penggusuran Cina Benteng, Tragedi Tanjung Priok ’84 serta berderet kasus lain menunggu diputihkan. Walaupun mengharapkan Pemerintah terlihat bagai upaya menegakkan benang basah, Aksi Kamisan masih menjadi suatu harapan bagi korban atau keluarga korban pelanggaran HAM untuk memperjuangkan keadilan.